TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara terdakwa korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik e-KTP Setya Novanto, Maqdir Ismail , menduga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengikuti pedoman Kejaksaan Agung dalam menyusun surat dakwaan. Menurut Maqdir, ada syarat tertentu menyusun surat dakwaan.
"Surat dakwaan ada aturan mainnya, disusun seperti apa dan waktunya harus jelas," katanya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Senin, 18 Desember 2017.
Selain pedoman kejaksaan, kata Maqdir, KPK seharusnya mengacu pada beberapa keputusan Mahkamah Agung mengenai penyusunan surat dakwaan.
Baca: Maqdir Ismail: Setya Novanto Keluhkan Sakit Perut dan Jantung
Sebelumnya, tim kuasa hukum Setya mempersoalkan penghilangan sejumlah nama anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat dalam surat dakwaan kliennya itu. Padahal, isi dakwaan terdakwa sebelumnya, Irman dan Sugiharto, tercantum banyak nama anggota partai politik.
Maqdir berujar dari sejumlah anggota partai itu, tinggal empat nama yang ada dalam dakwaan Setya. Mereka adalah Ade Komarudin alias Akom, Jafar Hafsah, Miryam S. Haryani, juga Markus Nari.
Simak: Maqdir Ismail Sebut Ada 2 Kejanggalan dalam Dakwaan Setya Novanto
Jika penghilangan nama itu dijadikan strategi KPK, Maqdir menganggapnya sebagai suatu kekeliruan. Sebab, surat dakwaan bukanlah laporan intelijen. "Saya khawatir pernyataan itu sekadar mengingatkan kita semua bahwa mereka (KPK) sudah salah," ujarnya.
Ketika dihubungi Tempo pada Sabtu, 16 Desember 2017, juru bicara KPK, Febri Diansyah, menerangkan isi dakwaan Setya pasti berbeda dengan terdakwa e-KTP lainnya. Sebab, dakwaan bersifat spesifik kepada terdakwa terkait.
Artinya, isi dakwaan fokus menjelaskan peran masing-masing terdakwa. Hal itu untuk membuktikan dan menjelaskan perbuatan yang diduga dilakukan para terdakwa.