TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik, Andi Agustinus alias Andi Narogong membantah disebut menyalahgunakan wewenang Setya Novanto atau pejabat lainnya untuk melakukan intervensi atas pengadaan pekerjaan proyek atau lelang e-KTP seperti yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Terdakwa tidak bisa dikatakan menyalahgunakan wewenang yang meletakat pada Setya Novanto, Irman, Sugiharto dan Drajat Wisnoe Setyawan," kata kuasa hukum Andi, Dorel Almir saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Kamis, 14 Desember 2017.
Baca: Andi Narogong Bantah Atur Pertemuan Bahas E-KTP dengan Setnov
Dorel menjelaskan, secara hukum administrasi untuk menyalahgunakan wewenang, seseorang harus punya wewenang. Selanjutnya, wewenang hanya dapat diperoleh melalui atribusi atau melalui pelimpahan kewenangan delegasi atau mandat. "Secara atributif terdakwa tidak memiliki kewenangan dan tidak ada wewenang yang dilimpahkan kepada terdakwa," ujarnya.
Sebelumnya, jaksa menganggap Andi bersalah menyalahgunakan wewenang Setya Novanto, yang ketika proyek e-KTP digagas pada 2010-2011 menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR. Setya Novanto sendiri disebut mendapat uang US$ 7 juta serta jam tangan merek Richard Mile senilai US$ 135 ribu atas perannya dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Selain itu, jaksa juga menyebut Andi memanfaatkan kedekatannya dengan pejabat lain seperti mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman; mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Kependudukan, Sugiharto; dan Drajat Wisnoe Setyawan selaku Panitia Lelang untuk mengatur pemenangan tender proyek e-KTP.
Baca: Andi Narogong: Saya Menyesal Telah Melukai Perasaan Bangsa Ini
Andi juga membantah tuduhan sebagai orang yang mengatur pertemuan dengan Setya Novanto untuk memuluskan proyek e-KTP. Pertemuan dengan Setya Novanto disebut atas permintaan Irman. "Bahwa saksi Irman yang minta kepada terdakwa untuk dipertemuan dengan Setya Novanto," kata, Dorel.
Irman meminta Andi karena dianggap memiliki kedekatan dengan Setya Novanto. Dorel mengatakan bahwa kliennya kemudian menuruti permintaan tersebut karena memang memiliki keinginan untuk mendapat pekerjaan dalam proyek e-KTP. "Terdakwa punya kepentingan untuk mendapat pekerjaan dalam proyek e-KTP," kata
Dorel.
Dalam pertemuan pertama di Grand Melia, Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR mengatakan memberi dukungan atas proyek e-KTP. Setelah pertemuan itu, Irman disebut meminta Andi untuk terus mem-follow-up dukungan Setya Novanto.
Dalam nota pembelaannya, Andi juga membantah dakwaan JPU KPK yang menyebutnya sebagai inisiator pembentuk dan pengarah tiga konsorsium, yakni Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), Astagraphia dan Murakabi Sejahtera. "Ketiga konsorsium itu dibentuk atas perintah Imran (Mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil)," ujar kuasa hukum Andi lainnya, Hertanto.
Hertanto mengatakan perintah Irman tersebut kemudian disampaikan Andi kepada pihak yang hadir di ruko fatmawati dengan tujuan mencegah jangan sampai tidak ada pesaing dalam lelang proyek e-KTP. Selanjutnya, menurut Hertanto, pembentukan tiga konsorsium termasuk yang menentukan para anggotanya adalah hasil dari kesepakatan para anggota mading-masing. "Tidak ada peranan dari terdakwa," kata Hertanto.
Hertanto juga mengatakan bahwa Andi tidak pernah meminta kepada Diah Anggraini untuk menjadi pengawal konsorsium. Andi juga disebut tidak ikut campur dalam proses lelang yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri dalam memenangkan PNRI.
Jaksa KPK menuntut Andi Narogong dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan pada Kamis, 7 Desember 2017 lalu. Jaksa menilai Andi terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan dakwaan kedua.