TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan alat bukti yang digunakan untuk menjerat kembali Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi e-KTP tak sama dengan bukti sebelumnya.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan penyidik telah meminta keterangan sejumlah saksi anyar untuk membuktikan keterlibatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu dalam perkara yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun ini. “Beberapa saksi yang pernah diperiksa pun dimintai keterangan barunya. Itu juga bisa jadi bukti baru,” kata Febri di Jakarta, Senin, 11 Desember 2017.
Baca: Praperadilan Setya Novanto, KPK Putar Video Andi Narogong
Menurut dia, sedikitnya 99 saksi telah diperiksa untuk Setya, yang kembali ditetapkan sebagai tersangka pada 31 Oktober 2017. Tak hanya mengandalkan keterangan saksi, penyidik juga mengantongi bukti dokumen.
KPK, Febri mencontohkan, kembali meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit dugaan kerugian negara akibat korupsi proyek e-KTP. “Hitungan itu terbilang sebagai bukti baru meski hitungan sama,” ujarnya.
Alat bukti dipersoalkan kuasa hukum Setya dalam gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka merujuk pada putusan hakim tunggal Cepi Iskandar, akhir September 2017, yang membatalkan penetapan tersangka Setya—sebelum akhirnya KPK kembali menetapkannya sebagai tersangka.
Baca: Beda Hakim Kusno dan Cepi Iskandar di Praperadilan Setya Novanto
Dalam putusannya, Cepi menyatakan bukti yang digunakan untuk tersangka atau terdakwa lain tak dapat digunakan untuk menjerat Setya. Putusan itu dinilai keliru oleh sejumlah pakar hukum lantaran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur alat bukti dapat digunakan pada dua pemeriksaan terpisah dalam kasus pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang.
Pada persidangan Senin, 11 Desember 2017, saksi ahli yang disodorkan Setya Novanto juga menyatakan KPK tidak bisa menggunakan alat bukti lama untuk menjerat Setya. Sebab, alat bukti itu dinyatakan tidak sah dalam sidang praperadilan pertama yang dilayangkan Setya. “Percuma kalau menggunakan bukti lama,” kata ahli hukum dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakir.
ARKHELAUS WISNU