INFO MPR – Setelah 72 tahun merdeka, Indonesia sudah banyak memiliki kemajuan di sektor pendidikan dan kecerdasan bangsa. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri masih banyak permasalahan di dunia pendidikan. Capaian untuk “Meningkatkan Kecerdasan Bangsa” belum sepenuhnya terwujud sesuai dengan keinginan konstitusi.
Hal itu yang dikatakan Ketua Lembaga Pengkajian (Lemkaji) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Rully Chairul Azwar dalam Simposium Nasional “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa: Pendidikan Nasional Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 7 Desember 2017. Simposium tersebut dibuka Ketua MPR Zulkifli Hasan dengan menghadirkan pembicara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo.
Rully menjelaskan, mencerdaskan kehidupan bangsa mengandung arti kehidupan bangsa Indonesia haruslah cerdas, yaitu kehidupan yang tanggap terhadap kemajuan peradaban dan kehidupan modern, tetapi berkepribadian nasional, yaitu beriman, bertakwa, serta berakhlak mulia, berkeadilan, dan sejahtera.
“Harus jujur diakui proses pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang memenuhi kriteria beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berdaya saing, dan tanggap terhadap kemajuan peradaban serta kehidupan modern sebagai wujud kepribadian nasional, masih belum terwujud,” katanya.
Secara perorangan, lanjut Rully, memang banyak siswa Indonesia yang bisa menjadi juara dalam olimpiade science. Namun secara umum dan kolektif, tingkat daya saing kita di tingkat regional dan global masih belum cukup memuaskan.
“Menurut laporan Bank Dunia, pada World Development Report, Indonesia butuh waktu 45 tahun untuk mengejar ketinggalannya dari negara-negara maju di bidang pendidikan khususnya di bidang literasi. Sedangkan dalam bidang science, Indonesia membutuhkan 17 tahun untuk mengejar ketertinggalannya,” ujarnya.
Rully menyebut sejumlah persoalan dalam bidang pendidikan sesuai dengan konstitusi. Misalnya bagaimana akses pendidikan, ketersediaan sarana dan prasarana sekolah, ketersediaan guru, wajib belajar sembilan tahun, apakah sistem pendidikan nasional sudah menghasilkan manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, apakah postur anggaran 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sudah memenuhi tujuan pendidikan.
Rully menambahkan pada APBN 2017, anggaran pendidikan mencapai Rp 416,1 triliun atau sebesar 27,4 persen. Sejumlah Rp 268,18 triliun atau 13 persen dari APBN disalurkan untuk dana alokasi umum (DAU) sebagai transfer daerah. Kementerian Agama mendapat Rp 50,44 triliun (2,5 persen) dan Rp 12,83 triliun dibagi ke-17 kementerian dan lembaga lain. “Dana yang dialokasikan untuk membiayai program pendidikan yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya Rp 39,82 triliun atau 1,9 persen dari keseluruhan APBN,” tuturnya. (*)