TEMPO.CO, Jakata – Peningkatan stastus Awas pada Gunung Agung oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dalam radius 8-10 Kilometer sejak 27 November 2017, mengakibatkan masyarakat sekitar harus diungsikan. Menurut data dari Pusat Pengendali Operasi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Pusdalops BPBD) Provinsi Bali, jumlah pengungsi pada 29 November 2017 di pukul 18.00 sebanyak 43.358 jiwa yang tersebar di 229 pengungsian.
“Mereka harus mengungsi karena tinggal di kawasan rawan bencana yang ancamannya adalah bahaya awan panas, aliran lava, guguran batu, lontaran batu pijar, dan hujan abu lebat,” ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan resminya, Rabu, 29 November 2017.
Baca juga: Erupsi Gunung Agung, Lion Air Siap Refund Penuh Tiket Penerbangan
Titik pengungsian letusan Gunung Agung di antaranya terdapat di Kabupaten Buleleng sebanyak 5.992 jiwa, Klungkung 7.790 jiwa, Karangasem 22.738 jiwa, Bangli 864 jiwa, Tabanan 657 jiwa, Kota Denpasar 1.488 jiwa, Gianyar 2.968 jiwa, Badung 549 jiwa, dan Jembrana 312 jiwa.
Atas kejadian itu, Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika mengimbau agar masyarakat mengungsi di sekitar Karangasem. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan penanganan. Bupati Karangasem, I Gusti Ayu Mas Sumatri telah menetapkan keadaan tanggap darurat bencana di Kabupaten Karangasem selama 14 hari yakni mulai tanggal 27 November 2017 – 10 Desember 2017.
“Masa berlaku pernyataan tanggap darurat bencana ini dapat diperpanjang atau diperpendek sesuai kebutuhan penanganan darurat di lapangan,” ujar Sutopo
BNPB dan BPBD menyambut baik adanya status tanggap darurat yang dikeluarkan pemerintah Karangasem. BNPB dan BPBD akan mempunyai kemudahan akses di bidang pengerahan sumber daya manusia, pengerahan peralatan, pengerahan logistik, imigrasi, cukai, dan karantina, perizinan, pengadaan barang atau jasa, pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan atau barang, penyelamatan, dan komando untuk memerintahkan instansi atau lembaga.
“Ini diperlukan mengingat penanganan bencana harus cepat dan tepat. Apalagi penanganan erupsi gunung api biasanya lama,” ujar Sutopo.
Sutopo mengatakan, walau sebagian masyarakat terdampak yang telah mengungsi, namun tetap ada saja masyarakat yang masih bertahan di zona berbahaya karena minimnya pemahaman soal erupsi. Beberapa alasan mereka diantaranya karena menganggap bahwa erupsi Gunung Agung adalah peristiwa spiritual, untuk menjaga ternak, lahan pertanian, dan rumah, atau bahkan menantang diri dengan melakukan swa-foto di tempat-tempat yang berbahaya.
Dengan ancaman yang terus meningkat, masyarakat diimbau agar mematuhi rekomendasi PVMBG. Sutopo mengatakan, pada Selasa, 28 November 2017, sekitar pukul 13:00 WITA telah terjadi tremor menerus yang overscale, yang kemudian terjadi letusan disertai lontaran batu hingga di radius 4 Kilometer dari puncak kawah Gunung Agung. “Ini sangat berbahaya, apalagi jika letusannya letusan eksplosif vertical yang dapat melontarkan lava pijar, batu, bom, lapilli dan sebagainya,” katanya.