TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Kasbani mengatakan, erupsi Gunung Agung di Bali kini memasuki fase magmatik. “Sekarang ini sudah memasuki fase magmatik karena sudah keluar produk-produk magma berupa lava dan sebagainya. Fase magmatik itu erupsinya bisa tidak hanya sekali, bisa berkali-kali dan ada potensi erupsi yang lebih besar,” kata dia saat dihubungi Tempo, Senin, 27 November 2017.
Kasbani mengatakan, erupsi hingga saat ini masih terjadi. Hembusan abu kemarin sempat menembus ketinggian 3.400 meter, tapi hari ini tidak terpantau karena hampir seharian puncak Gunung Agung tertutup awan tebal. “Erupsi berupa embusan emisi abu tetap jalan terus, kemudian sinar api dalam crater, atau kawah, masih ada sampai sekarang,” kata dia.
Menurut Kasbani, sinar api yang terlihat jelas di malam hari di puncak Gunung Agung itu berasal dari produk lava yang terkumpul di kawah gunung itu. “Dalam kawah, ada lava yang mengumpul di situ. Hari ini, dari pantauan satelit diameternya 200 meter kali 291 meter, bentuknya seperit elips. Itu yang menyebabkan kelihatan seperti ada sinar api kalau dilihat,” kata dia.
Kasbani mengatakan, saat memasuki fase magmatik tersebut Gunung Agung bisa menghasilkan erupsi yang lebih besar. “Pada saat memasuki fase magmatik, bisa memicu potensi untuk terjadi erupsi berikutnya karena suplai magma terus terjadi. Begitu ada tanda kegempaan makin besar, tremor juga makin besar, artinya magma menerobos keluar,” kata dia.
Sejumlah ancaman bahaya diwaspadai dari letusan Gunung Agung. Diantaranya, lontaran batu pijar, pasir, lapili yakni material kerikil berukuran kecil, hingga kerikil berukuran relatif besar. “Kita perkirakan saat ini bisa terjadi dalam radius 8 kilometer,” kata dia.
Kasbani mengatakan, ancaman kedua berupa aliran lava pijar. “Tapi itu pelan, kalau berada jauh tidak berbahaya,” kata dia.
Baca juga: Gunung Agung Awas, BNPB Perkirakan 100.000 Penduduk Dievakuasi
Dan ancaman selanjutnya yang dikhawatirkan adalah awan panas karena bisa menerjang dengan kecepatan tinggi dan bertemperatur tinggi. Kasbani mengatakan, jenis awan panas yang berpotensi terjadi di Gunung Agung adalah awan panas letusan. “Jenis awan panas letusan itu terjadinya pada saat letusan, maka disebut awan panas letusan. Kalau saat Merapi dulu itu awan panas guguran,“ kata dia.
Kasbani mengatakan, dari sejarah letusannya, Gunung Agung menghasilkan awan panas letusan. “Dia terjadi berbarengan dengan letusan. Dia membentuk kolam, terjadi letusan, turun, lalu roboh menjadi awan panas. Itu berbahaya. Untuk sementara kami memperkirakan itu mengarah ke Utara-Timur Laut, kemudian Tenggara-Barat Daya,” kata dia.
Menurut Kasbani, belajar dari sejarah letusan Gunung Agung pada 1963, awan panas letusan yang terjadi mengarah ke Utara-Timur Laut bisa menembus jarak maksimal luncuran 14 kilometer. Sementara yang mengarah ke Tenggara-Barat Daya itu jarak maksimal luncurannya 12 kilometer.
Baca juga: Bandara Ngurah Rai Bisa Kembali Dibuka, Asalkan...
Saat ini PVMBG telah menaikkan status Gunung Agung terhitung 27 November 2017 pukul 06.00 WITA dari Siaga (Level III) menjadi Awas (Level IV). Lembaga itu merekomendasikan perluasan daerah zona berbahaya dalam radius 8 kilometer, dan khusus di sektor Utara-Timur Laut dan Tenggara-Selatan-Barat Daya sejauh 10 kilometer. Zona perkiraan bahaya itu bersifat dinamis dan sewaktu-waktu bisa berubah.