TEMPO.CO, Timika - Mayoritas Pengungsi asal Kampung Banti, Kimbeli dan Opitawak, Distrik Tembagapura yang dievakuasi ke Timika, Papua, mengalami kecemasan dan rasa takut berlebihan. Demikian hasil penilaian cepat Koordinator Tim Layanan Dukungan Psikososial (LDP) Kementerian Sosial Milly Mildawati di Timika, Sabtu, 25 November 2017.
Milly mengatakan anak-anak pengungsi dari Tembagapura mengalami ketakutan mendengar suara keras, seperti suara teriakan. "Kalau dengar suara teriakan, mereka akan segera berlari," kata Milly.
Baca: 4 Tuntutan Koalisi Sipil untuk Papua tentang Penyanderaan Warga
Menurut dia kondisi itu terjadi lantaran anak-anak pengungsi mendengar suara tembakan senjata api selama kelompok kriminal bersenjata menguasai wilayah sekitar Tembagapura selama lebih dari tiga pekan. Selama masa isolasi, kata dia, sandera kekurangan pasokan bahan makanan lantaran akses keluar masuk kampung dijaga oleh kelompok bersenjata.
Kemensos mengirim tiga orang pendamping layanan dukungan sosial ke Timika untuk membantu memulihkan kondisi psikologis para pengungsi, terutama anak-anak. Tim LDP Kemensos dibantu oleh Satuan Bakti Pekerja Sosial Kabupaten Mimika, para guru dan relawan pekerja sosial, Pramuka, Palang Merah Indonesia Mimika, Tagana dan lainnya.
Simak: Begini Kondisi Warga Mimika Papua di Tempat Penampungan
Beberapa anak pengungsi mengaku ingin segera kembali ke kampungnya di Tembagapura. "Saya ingin pulang ke rumah di kampung agar bisa bermain bola dengan teman-teman," kata Warlex, bocah sembilan tahun yang ikut mengungsi ke Timika bersama orang tuanya.
Setelah lima hari menempati posko pengungsian sementara di Gedung Eme Neme Yauware Timika, Jumat petang, 24 November 2017, sebanyak 806 pengungsi asal Tembagapura tersebut dipindahkan ke Kampung Damai, Distrik Kwamki Narama.
Lihat: Penyanderaan di Papua, Wiranto: Akan Ada Operasi Lanjutan
Koordinator pengungsi, Kemaniel Waker, mengatakan pemindahan warga pengungsi ke Kwamki Narama lantaran suhu udara di Gedung Eme Neme Yauware sangat panas dan tidak cocok dengan para pengungsi yang terbiasa tinggal di wilayah pegunungan yang bersuhu dingin.
Kamaniel juga khawatir banyak anak dan orang dewasa terjangkit penyakit menular jika berlama-lama bertahan di gedung tersebut. Di lokasi baru, pengungsi menempati gedung lama Gereja Kemah Injil Indonesia Wilayah II Pegunungan Tengah Papua, Jemaat Anugerah. Rencananya pada Sabtu pagi ini para pengungsi sudah bisa pergi dan tinggal sementara di rumah keluarganya masing-masing.