TEMPO.CO, Jakarta - Transparancy International Indonesian (TII) merilis hasil survei Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2017. Manajer Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko menyatakan terjadi perbaikan indeks persepsi korupsi dengan rata-rata 60.8 melalui survei di delapan kota besar di Indonesia. Angka ini naik dari 54.7 pada 2015.
“Ini menunjukkan sudah terjadi banyak perbaikan pelayanan publik antara interaksi pelaku pelayanan dan kalangan pengusaha," kata Wawan di Hotel Le Meredian, Jakarta Pusat, Rabu, 22 November 2017.
Baca: Survei: Gratifikasi Sering Terjadi Saat Berurusan ...
Survei dilakukan di 12 kota besar. Kota-kota itu adalah Jakarta Utara, Pontianak, Pekanbaru, Balikpapan, Banjarmasin, Padang, Manado, Surabaya, Semarang, Bandung, Makassar, dan Medan. Dari 12 kota, Jakarta Utara menjadi kota paling “bersih” dengan IPK 73.9, dan Medan menjadi yang paling korup dengan IPK 37.4.
Wawan menjelaskan pertimbangan untuk menunjuk 12 kota itu karena menjadi ibukota provinsi dan berkontribusi besar untuk pendapatan domestik bruto (PDB) nasional. Dua belas kota ini juga dinilai mewakili tiga kawasan regional, Indonesia Barat, Tengah, dan Timur. "12 kota bisa menggambarkan indeks korupsi secara nasional," ujarnya.
Sebanyak 1.200 responden survei ini adalah kalangan pelaku usaha. Responden berasal dari perusahaan di sektor industri keuangan, konstruksi, perdagangan, jasa, dan manufaktur. Periode pengambilan data dilakukan pada Juni-Agustus 2017.
Baca juga: Survei Ini Membuktikan Partai Politik Paling ...
Sekretaris Jenderal Transparancy International Indonesia Dadang Trisasongko mengatakan pelaku usaha berperan penting dalam pemberantasan korupsi. Menurut dia, stigma pengusaha sebagai dalam praktek suap dan korupsi harus diubah. "Penting melibatkan swasta dalam pemberantasan korupsi di Indonesia," ujarnya.
Dadang berpendapat survei ini bisa menjadi patokan untuk merumuskan program pencegahan korupsi di setiap kota. Ia mengatakan survei ini berbeda dengan indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan pada tiap Januari secara global. "Itu belum cukup untuk menggambarkan problem riil di tingkat bawah," ujarnya.