TEMPO.CO, Jakarta – Sejumlah pakar hukum menanggapi miring pernyataan Fredrich Yunadi, kuasa hukum Setya Novanto, yang siap membawa perkara kliennya ke Pengadilan HAM Internasional. Tindakan Fredrich tersebut dianggap nyeleneh alias asal-asalan dan berlebihan.
“Pernyataan tersebut asal bunyi dan lebay, semakin memperpanjang daftar kekeliruannya,” kata pakar hukum acara pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar saat dihubungi Tempo pada Ahad, 19 November 2017.
Fredrich sebelumnya protes dengan surat penetapan penahanan selama 20 hari terhadap kliennya, Setya Novanto. Ia mengatakan bahwa tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan orang yang diperiksa dan dalam keadaan sakit sama sekali tidak berdasarkan pada undang-undang.
Baca: Belum Limpahkan Berkas Setya Novanto, KPK Sidik E-KTP Lebih Luas
Ia pun berencana menuntut di pengadilan HAM Internasional. Kabar semula, KPK yang ingin ia tuntut oleh Fredrich. Namun belakangan ia mengklarifikasi bahwa ia hanya akan mengadukan kesewenang-wenangan KPK terhadap kliennya.
Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mempertanyakan, “Pengadilan HAM Internasional mana yang dimaksud oleh Fredrich Yunadi?”. Dalam peradilan internasional, kata dia, tidak ada lembaga yang secara spesifik disebut sebagai Pengadilan HAM Internasional.
Memang dalam lembaga peradilan internasional ada pengadilan yang disebut sebagai Mahkamah Kejahatan Internasional atau International Criminal Court (ICC). Namun lembaga ini melakukan proses hukum bila ada individu yang menduduki jabatan di pemerintahan yang melakukan kejahatan internasional. “Apa yang dituduhkan oleh pengacara Setya Novanto terhadap KPK tidak termasuk di dalamnya,” kata Hikmahanto. “Saya sebagai dosen hukum internasional terusik, wah ini maksudnya apa?".
Baca: Dua Sikap Fredrich Yunadi Soal Pelanggaran HAM
Menurut Hikmahanto, Fredrich seharusnya membela Setya dalam koridor peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan ilmu pengetahuan hukum. “Menurut saya ini nyeleneh,” ujarnya.
Pakar hukum tata negara Mahfud MD juga menganggap Fredrich tidak paham hukum internasional. "Saya kira Fredrich yang mengusulkan KPK ke pengadilan HAM internasional, tidak mengerti hukum internasional. Bukan pura-pura tidak tahu, tapi dia enggak ngerti," ujar mantan ketua Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, pakar hukum pidana internasional dari Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita menilai yang seharusnya bergerak terlebih dahulu adalah Komisi Nasional HAM. Masalahnya, kata Romli, komisi tentu akan turun (menyelidiki) jika memang ada pelanggaran. “Komnas HAM belum bergerak kok, ngapain?” kata Romli.
Menanggapi kritikan tersebut, Fredrich Yunadi mengatakan hal tersebut sebagai hak orang untuk berpendapat. "Hak saya berpendapat juga hak orang berbeda pendapat, yang jelas saya melakukan upaya hukum sesuai dengan koridor hukum nasional dan internasional," ujarnya.