INFO MPR — Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menggelar Pagelaran Wayang Kulit dalam Sosialisasi Empat Pilar, di depan kantor Bupati Demak, Rabu malam, 15 November 2017. Pagelaran wayang kulit dengan lakon “Manunggaling Mustikaning Jagad" (Wahyu Pancasila) ini menghadirkan Ki Sigid Ariyanto sebagai dalang.
Pagelaran seni budaya wayang kulit ini, dihadiri anggota MPR, Bowo Sigit Pangarso dari Fraksi Golkar, Bupati Demak H. M. Natsir, Wakil Bupati Demak Joko Sutanto, dan Kepala Bagian Pemberitaan Hubungan Antarlembaga dan Layanan Informasi MPR Muhamad Jaya.
Bowo mengatakan pagelaran wayang kulit ini merupakan bagian dari sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Selain Forum Diskusi Group, MPR juga menggelar pagelaran wayang kulit agar masyarakat tahu dan mengerti dalam mengamalkan Pancasila," katanya.
Dia mengatakan, Pancasila dilahirkan melalui pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, dalam pidato tersebut Soekarno menyebutkan, nilai-nilai Pancasila digali dari budaya Indonesia.
"MPR memilih Demak untuk tempat pagelaran karena dikenal sebagai Kota Wali. Kebetulan saya berasal dari Demak. Mudah-mudahan setiap tahunnya Demak akan menjadi tempat pagelaran wayang kulit," ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, tema “Wahyu Pancasila” atau “Manunggaling Mustikaning Jagat” ini merupakan bentuk pelestarian wayang kulit dari Demak yang diciptakan Bapak Dalang, yakni Sunan Kalijaga. Ia dikenal pandai mendalang dan dulu menetap di Kadilangu, Demak, sebagai media dalam syiar Islam.
"Semoga menambah wawasan untuk mencintai Pancasila dan mempertahankan NKRI. Bangsa ini bisa jaya bila Pancasila diamalkan," ucapnya.
Kepala Bagian Pemberitaan Hubungan Antarlembaga dan Layanan Informasi MPR Muhamad Jaya mengatakan, pagelaran wayang kulit ini diselenggarakan MPR sebagai bentuk kepedulian dan menjadi bagian dari Sosialisasi Empat Pilar, yang mencerminkan kebersamaan, kekeluargaan, persatuan, dan gotong-royong.
Maka menurut Jaya, selaras dengan sosialisasi empat pilar sebagai perekat bangsa, sosialisasi bisa terwujud dengan efektif.
Cerita dalam lakon “Manunggaling Mustikaning Jagad" ini adalah tentang Pandhawa yang kehilangan pusaka Jamus Kalimasada, sehingga mereka tidak mempunyai kekuatan, karena ditinggal perisainya. Hal itu membuat Pandhawa lima dan Raden Setyaki berusaha mengejar Prabu Karna untuk mengambil kembali pusaka tersebut.
Karena kesaktian Jamus Kalimasada maka siapa pun yang terkena pusaka akan berubah wujudnya. Alhasil, Setyaki berubah menjadi rantai, Nakula dan Sadewa berubah menjadi padi dan Kapas, Bima berubah menjadi pohon beringin, serta Puntadewa berubah menjadi bintang.
Atas petunjuk Semar, maka Arjuna sebagai Banteng dan Semar berubah menjadi burung garuda, yang berusaha merebut kembali Jamus Kalimasada dari Basukarna.
Akhirnya, atas kekuatan Garuda, Jamus berubah menjadi perisai dan Pandhawa menyatu dalam perisai. Kembalinya Jamus Kalimasada dan Pandhawa, negara Amarta menjadi aman kembali.
Bupati Natsir mengatakan masyarakat Demak bangga bisa menjadi tempat pagelaran wayang kulit. Ini sebagai wujud kecintaan pada bangsa dan negara.
"Mudah-mudahan pagelaran wayang kulit ini meningkatkan pengetahuan dan wawasan pada pengamalan empat pilar," tuturnya.
Sigit Ariyanto, dalang muda kelahiran 1979 asal Rembang ini, menamatkan sekolah seni perdalangan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), di Surakarya pada 2003. Ia pernah meraih juara II Festival Dalang tingkat Jawa Tengah pada 2004, Duta Indonesia dalam Festival Wayang ASEAN lakon "Ciptoning" pada 2006, serta penyaji terbaik dan sanggit lakon terbaik dalam Festival Wayang Indonesia tahun 2008 di Yogyakarta. (*)