INFO NASIONAL - Saat ini era revolusi digital sedang berlangsung. Revolusi yang kerap dijuluki revolusi keempat itu kini mengubah dunia menjadi tanpa batas. Dari genggaman tangan saja, segala informasi dapat diakses dengan cepat dan real-time tanpa sekat negara ataupun zona waktu.
Ketika revolusi industri pertama ditandai dengan lahirnya mesin uap, revolusi industri kedua dengan munculnya elektrifikasi dan produksi massal, dan revolusi industri ketiga ditandai dengan munculnya teknologi internet, maka revolusi industri keempat adalah fase nyaris kehidupan kita telah tersentuh layanan digital. Ada tiga faktor utama pendorong revolusi digital yaitu perkembangan ponsel cerdas sebagai alat utama akses internet. Faktor kedua adalah Internet of Things (IoT). Pada 2016, hampir 18 miliar piranti berbasis internet telah saling terkoneksi yang mengakibatkan terciptanya konsep-konsep inovatif seperti smart meter atau smart homes. Faktor ketiga adalah Big Data yang didukung oleh kemampuan komputer melakukan analisis yang kompleks (advance analytics). Dengan cara itu maka analisis data pun dapat berlangsung dengan mudah.
Baca Juga:
Tahun lalu, lalu lintas internet global setidaknya telah mencapai 1,2 zetabyte atau 1,2 triliun gigabytes, yang terutama dipicu oleh peningkatan tren penggunaan media sosial melalui perangkat gawai (gadget). Pada 2013 saja terdapat setidaknya 1,85 miliar pengguna aktif media sosial, yang kemudian meningkat menjadi 2,8 miliar pada 2016. Aktivitas media sosial dan layanan digital yang makin meluas tersebut telah mendorong terciptanya data baru secara masif. Data yang berjumlah sangat besar, bervariasi dan dihasilkan secara sangat cepat (real time) inilah yang dikenal sebagai Big Data. Big data memungkinkan analisis mendalam pada data tersebut menggunakan AI (artificial intelligence) atau kecerdasan buatan yang efisien dengan hasil optimum. Semua serba dikerjakan oleh komputer.
Bagi Indonesia, keadaan itu tak bisa dilawan. Pertumbuhan perusahaan perintis di bidang perdagangan barang dan jasa, pembayaran, dan pembiayaan menunjukkan kecenderungan ke arah revolusi tersebut. Jumlah pengguna internet yang berbelanja secara online di tanah air pada 2016 telah mencapai 24,74 juta orang. Potensi besar dari era digital yang nilainya triliunan rupiah, juga harus dioptimalkan Indonesia. Dengan menggenjot penetrasi internet yang masih rendah sekitar 51% saja. Masih kalah dari Malaysia (71%) ,Thailand (67%) atau negara maju seperti Inggris dan Jepang yang penetrasi internetnya sudah di atas 90%. Selain persoalan infrastruktur, pemanfaatan teknologi digital belum optimal. Investasi TI di sektor-sektor utama pemberi kontribusi ke pertumbuhan ekonomi seperti manufaktur dan pertambangan relatif masih belum moncer. Namun investasi yang cukup tinggi tercatat di sektor seperti e-commerce dan fintech yang pada 2016 diperkirakan mencapai US$ 1,7 miliar.
Bila hambatan itu teratasi, digitalisasi ekonomi mampu memberikan nilai tambah sebesar US$ 150 miliar terhadap PDB Indonesia pada 2025 (sekitar 10% terhadap PDB), yang dibarengi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja mencapai hampir 4 juta orang seperti dirilis dari studi McKinsey Indonesia 2016. Selama setahun terakhir, para pengguna internet telah membelanjakan uang sekitar US$ 5,6 miliar (sekitar Rp 75 triliun) di berbagai e-commerce. Artinya setiap pengguna e-commerce di Indonesia rata-rata membelanjakan Rp 3 juta per tahun.
Revolusi digital yang saat ini berlangsung berada dalam trek yang tepat. Sehingga target pertumbuhan ekonomi 7% per tahun bisa tercapai dengan sumbangan dari revolusi digital.(*)