INFO BISNIS — Untuk mendukung upaya perlindungan ekosistem gambut secara global dari ancaman degradasi lahan dan kebakaran, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, mewakili Indonesia, berbicara dalam forum Global Peatlands Initiative (GPI).
Hadir dalam pertemuan tersebut Direktur Eksekutif UN Environment Programme (UNEP) Ibrahim Thiaw, Menteri Lingkungan Hidup Peru Elsa Galarza Contreras, dan Menteri Lingkungan Hidup Republik Demokrat Kongo Amy Ambatobe Nyongolo. Dalam pertemuan tersebut, Siti menyampaikan urgensinya tentang pengelolaan ekosistem gambut di Indonesia.
Baca Juga:
"Internasional melihat pengalaman gambut di Indonesia sangat baik untuk dipelajari, karena memberi pengaruh besar terkait dengan emisi karbon dengan luas gambut kurang-lebih 20 juta hektare, dibandingkan dengan negara Kongo seluas 14 juta hektare. Jadi, tata kelola gambut di Indonesia dianggap sudah sangat baik," ujarnya saat menyampaikan hasil-hasil pertemuannya, di Bonn, Jerman, Selasa, 14 November 2017.
Siti mengatakan secara internasional ada ketentuan atau kesepakatan untuk mengelola secara global tentang tata kelola gambut. Dalam arti berbagi pengetahuan dan menangkap pengertian nilai-nilai gambut secara global. “Ajang ini juga untuk saling mempelajari tekanan-tekanan terhadap gambut di masing-masing negara dan cara menyelesaikannya,” ucapnya.
Hasil lain, Siti menambahkan, perlunya bersama-sama melakukan kerja sama internasional pada pengelolaan gambut, dalam bentuk koalisi beberapa negara, dalam arti pengetahuan tetapi bukan kedaulatan.
Baca Juga:
"Selain itu, bagaimana melihat dukungan-dukungan finansial untuk tata kelola gambut dan perlunya perspektif internasional, karena ilmu gambut sangat bervariasi dan setiap negara punya pengalaman berbeda. Jadi, sangat baik jika kita saling belajar,” tuturnya.
Dalam pertemuan ini, Menteri Siti juga menyampaikan upaya perlindungan gambut dalam bentuk pendekatan kepada masyarakat, melalui program Perhutanan Sosial, serta pendekatan bagi korporasi yang berusaha di lahan gambut dalam bentuk pemberian lahan pengganti.
Terkait dengan pentingnya pengembangan riset dan teknologi pengelolaan gambut, Siti juga menyampaikan masih terdapat tantangan yang harus dihadapi, antara lain perbedaan pemahaman dalam kesepakatan teknik hidrologi pengelolaan gambut di lahan konsesi. "Kementerian Lingkungan Hidup terus berupaya untuk mengakomodir, mencari solusi terbaik dalam teknik hidrologi gambut, khususnya dalam tiga sampai lima tahun ke depan,” tuturnya.
"Sehingga dengan demikian, dalam tiga tahun ke depan pengembangan riset dan teknologi sangat penting bagi Indonesia dan berbagai informasi pengetahuan serta praktik terbaik dari negara-negara lain," katanya.
Adapun supervisi dan penegakan hukum dalam pengelolaan gambut di Indonesia, disampaikan Siti terus dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup. Sedangkan program restorasi gambut di Indonesia juga perlu didukung dengan panduan teknis yang kuat, karena selain sebagai upaya konservasi, pengelolaan gambut sangat penting dalam ketahanan pangan dan berkaitan langsung dengan masyarakat.
Sementara itu, tim menyepakati tindak lanjut dari pertemuan ini adalah bagaimana membangun kemitraan dengan mengaktifkan dan memberikan kontribusi aktif dengan anggota tambahan. Hal tersebut pun dapat didukung dengan berbagai publikasi di media sosial.
Untuk diketahui, Global Peatland Initiative (GPI) ini didirikan pada COP-22, di Marrakech, 2016 oleh 13 organisasi internasional dan tiga negara kunci terkait dengan gambut yaitu Indonesia, Peru, dan Republik Kongo. Pemrakarsa lain, yaitu UNEP, Ramsar Convention on Wetlands, Joint Research Center of European Commission, Wetlands International, UNEP-WCMC, GRID-Arendal, European Space Agency, World Resources Institute, serta Greifswald Mire Centre and Satelligence. Hingga saat ini, telah ada 24 anggota GPI termasuk Negara Republik Demokrat Kongo. (*)