TEMPO.CO, Bandung - Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jendral TNI Mulyono mengatakan pihaknya menunggu keputusan dari pemerintah pusat dan DPR soal kasus penyanderaan warga di dua desa di Mimika, Papua.
"Saya akan menunggu keputusan politik, kan kita menunggu dari pemerintah dan dari DPR bagaimana nantinya Papua itu akan dibikin seperti apa," ujar Mulyono kepada wartawan di Bandung, Selasa, 14 November 2017.
Menurut Mulyono, sikap dan tindakan TNI sebagai alat negara saat ini masih di bawah aturan dan hukum yang diterapkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca juga: Penyanderaan di Papua, JK: Selamatkan Rakyat Apa pun Caranya
Berdasarkan kacamata TNI, kata dia, sebetulnya kegiatan yang dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) merupakan bagian dari bentuk gerakan separatis karena telah melawan negara Indonesia untuk bisa merdeka.
"Kalau seperti itu kan ancamannya bukan sudah kriminal tapi itu sudah gerakan separatis ya karena dia menantang negara pengen merdeka dengan memisahkan diri dari NKRI itu ancaman separatis dan itu secara hukum sudah salah," katanya.
Mulyono mengatakan kegiatan yang dilakukan OPM notabene merugikan masyarakat disana. Mulyono pun menuding OPM itu melakukan tindakan penyandraan, penembakan bahkan hingga pembunuhan.
"Mereka menembaki mobil-mobil Palang Merah yang notabene merupakan kepentingan sosial. Mereka melakukan pencurian-pencurian, mereka menyerang pos-pos keamanan dan lain-lain itu kan semuanya di bawah situasi yang tidak kondusif," katanya. "Apalagi kenyataannya juga yang disandera banyak yang sakit mereka melakukan apa buat orang-orang itu,"
Mulyono mengatakan OPM semakin gencar melakukan kampanye untuk memisahkan diri dari Indonesia melalui media dan yang lainnya.
"Mereka membuat statement-statement menantang ingin berperang kepada tentara Negara Kesatuan Republik Indonesia itu memang pernyataan-pernyataan yang betul-betul memang memprovokasi kita dan kita juga tahu," ucap dia.
Mulyono mengatakan penguatan pasukan pun telah dilakukan secara maksimal agar kondisi di Papua bisa kembali kondusif. "Kalau Papua kondusif artinya program-program pemerintah yang dilaksanakan Pak Jokowi untuk membangun Papua mensejahterakan masyarakat itu akan bisa dicapai," ucap Mulyono.
Informasi penyanderaan 1.300 orang di Mimika itu disampaikan oleh Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar pada Kamis, 9 November 2017 pekan lalu. Polisi menyebut para penyandera sebagai KKB atau kelompok kriminal bersenjata.
Baca juga: Kelompok Separatis Papua Bantah Lakukan Penyanderaan
Warga di dua desa, Desa Kimbely dan Desa Banti, Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua dilarang keluar dari kampung dan melarang warga desa beraktivitas untuk mencari kebutuhan pokok hingga mengisolasi jalur lalu lintas.
Namun, pengacara Hak Asasi Manusia Veronica Koman membantah berita penyanderaan dan intimidasi terhadap 1.300 warga di Desa Kimberli dan Banti, Distrik Tembagapura, Mimika, Papua. Veronica menuduh Kepolisian telah memanipulasi fakta mengenai situasi yang sebenarnya di wilayah itu. “Tidak benar itu (penyanderaan),” kata Veronica kepada Tempo di Jakarta, Minggu, 12 November 2017.
Vero mengatakan bahwa KKB yang dimaksud kepolisian adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM). “Kepolisian mengganti TPN dengan KKB untuk justifikasi dan tujuan tertentu.” Salah satunya agar kepolisian bisa menyisir perkampungan. Warga di kedua kampung, menurut dia, justru merasa terintimidasi oleh kehadiran TNI dan Polri.
AMINUDDIN A.S.