TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Syekh Yusuf, Tangerang, Refly Harun, mengatakan KPK bisa memanggil paksa dan menahan Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. KPK, kata dia, tidak perlu menunggu putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Undang-Undang KPK yang didaftarkan oleh kuasa hukum Setya, Fredrich Yunadi.
Ia menjelaskan prosedur di MK mengatur bahwa undang-undang yang sedang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakannya batal. "Jadi, kalau undang-undang itu memberikan hak secara clear kepada KPK untuk bisa memanggil seorang tersangka bahkan menahannya. Sebelum undang-undang itu dibatalkan eksistensinya, maka itu tetap bisa digunakan," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 14 November 2017.
Baca: MK Proses Uji Materi UU KPK yang Diajukan Setya Novanto
Setya saat ini telah berstatus sebagai tersangka korupsi proyek e-KTP. Saat masih berstatus saksi, ketua DPR itu sudah tiga kali mangkir dari pemeriksaan KPK. Refly berujar Setya seharusnya datang ke KPK ketimbang mangkir dan berlindung dengan segala cara.
"Seharusnya ketua DPR memberikan contoh yang baik dan memberikan keterangan, baik sebagai saksi maupun tersangka untuk membuat clear masalah ini. Tidak boleh berlindung di balik prosedur dan hak imunitas," ujarnya.
Menurut Refly, Ketua Umum Golkar itu berlindung di balik prosedur dengan mengatakan pemanggilannya harus seizin presiden. Selain itu, Setya juga berlindung dengan mengatakan bahwa dirinya memiliki hak imunitas sebagai anggota dewan sehingga tidak bisa diperiksa oleh penegak hukum.
"Padahal, baik hak imunitas maupun izin presiden itu tidak berlaku untuk kasus korupsi yang digolongkan kejahatan khusus atau extraordinary crime," ujarnya.
Baca: Setya Novanto Melawan Lewat Mahkamah Konstitusi
Refly berujar, apa yang dialami Setya masih lebih baik dibandingkan oleh tersangka korupsi lainnya. Sebab, Setya sampai saat ini belum ditahan oleh KPK. "Masih mending ketua DPR, dihormati untuk tidak ditahan. Tapi, jangan bicara persepsi tahan-menahan, melainkan bagaimana pejabat sekelas ketua DPR memberi contoh baik mengenai ketaatan terhadap proses hukum," tuturnya.
Setya Novanto pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017. Namun status ini gugur ketika hakim tunggal sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Cepi Iskandar, memenangkan gugatan Setya Novanto pada 29 September 2017.
Sejak itu, KPK beberapa kali memanggil Setya Novanto untuk diperiksa sebagai saksi. Namun tidak sekali pun ketua umum Partai Golkar itu datang dengan berbagai alasan.
KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP pada 10 November 2017. Upaya Setya pun berlanjut dengan mendaftarkan uji materi undang-undang KPK ke MK, Senin, 13 November 2017. Pengacara Setya, Fredrich, meminta KPK menahan diri dan tidak menyentuh kliennya sampai MK mengeluarkan putusan.