TEMPO.CO, Jakarta - Penghargaan bagi jasa para pahlawan kemerdekaan tak hanya dianugerahkan kepada pejuang pribumi. Tiga pusara di Taman Makam Pahlawan, Garut, jawa Barat, menyibakkan sebuah epos yang tak banyak diketahui orang. Ketiganya merupakan makam mantan serdadu Jepang dan Korea yang ikut memberi andil melepaskan bumi Nusantara dari cengkraman penjajah Belanda.
Baca: Menjelang Hari Pahlawan, RI Resmi Punya 173 Pahlawan Nasional
Makam tiga pejuang tersebut berada di Taman Makam Pahlawan, tenjolaya, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Satu di antara makam tersebut merupakan makam mantan serdadu Korea, Yang Chil Seong. Dua makam lain adalah rumah bagi jasad mantan serdadu Jepang, Aoki dan Hasegawa. Namun identitas yang terukir di atas batu nisan ketiganya berbeda dengan nama asli mereka.
Kisah Yang Chil Seong bermula ketika Jepang membawanya ke Indonesia pada 1942. Saat itu, Korea merupakan salah satu wilayah taklukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang memberi Yang tugas khusus sebagai sipir rumah tahanan di Bandung. Ketika Jepang menyerah dari pasukan sekutu, Yang memilih untuk menetap di Indonesia bersama dua serdadu Jepang; Aoki dan Hasegawa.
Baca juga: Kekuatan Militer Korea Utara versus Indonesia, Siapa Kuat?
Jejak kehidupan Yang telah dibukukan pemerintah Korea Selatan melalui sebuah riset. Ia bersama Aoki dan Hasegawa diketahui menetap di Garut dan bergabung bersama pejuang-pejuang pribumi yang tergabung dalam pasukan Pangeran Papak. Yang Chil Seong lalu mengganti namanya menjadi Komaruddin. Begitu pula, Aoki menjadi Abubakar dan Hasegawa menjadi Usman.
Yang diketahui menikahi seorang mojang priyangan, penduduk Garut. Pria kelahiran Korea pada 1919 itu juga memutuskan untuk memeluk agama Islam. Keputusan serupa diambil Aoki dan Hasegawa yang bersedia mengikrarkan dua kalimat syahadat. Bersama pasukan Pangeran Papak, ketiganya memainkan andil yang cukup penting di masa revoluasi kemerdekaan.
Saat menjadi serdadu Jepang, Yang merupakan salah seorang ahli perakit bom. Adapun Aoki dan Hasegawa kerap diandalkan sebagai perancang strategi perang. Andil mereka dalam memperkuat barisan Pangeran Papak tak bisa dianggap kecil. Pasukan Belanda bahkan sempat mereka buat gentar ketika berhasil meledakkan jembatan Sungai Cimanuk atau yang saat ini dikenal Jembatan PTG (Pabrik Tenun Garut).
Bom jembatan Cimanuk berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Rencana Belanda untuk memperluas wilayah okupasi terpaksa dibatalkan. Pasukan Belanda belakangan merebut wilayah Garut dan mengetahui aksi ketiganya. Ketiganya dianggap sebagai ancaman serius bagi pasukan Belanda. Berbagai upaya dilakukan Belanda untuk memburu ketiganya, termasuk menyebar jaringan mata-mata.
Kisah Yang dan dua pejuang asal Jepang tersebut berakhir tragis. Ketiganya ditangkap pasukan Belanda di Gunung Dora, daerah perbatasan Kabupaten Garut dengan Tasikmalaya, bersama pejuang pribumi lain. Pengadilan pemerintah kolonial lalu menjatuhkan vonis mati untuk Yang, Aoki, dan Hasegawa. Sedangkan pejuang pribumi mendapatkan hukuman penjara seumur hidup.
Eksekusi hukuman mati terhadap ketiganya digelar di Lapang Kerkof, Kabupaten Garut, pada 10 Agustus 1949. Ketiganya ditembak mati di hadapan warga Garut. Jasad mereka lalu dikuburkan secara Islam, sesuai permintaan, di Pemakaman Umum Pasir Pogor. Pemerintah Orde Baru memutuskan untuk memindahkan jasad ketiganya ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya pada tahun 1982.
Baca: Hari Pahlawan, Ruang Kerja Sudirman Kini Kamar Mewah Hotel
Petugas Taman Makam Pahlawan pada Dinas Sosial Garut, Imam Sukiman, membenarkan makam pahlawan asal Korea dan Jepang tersebut. "Batu nisa pahlawan asal Korea tersebut tertulis nama Komarudin," kata dia. Makam Yang Chil Seong, kata Imam, selalu dikunjungi oleh keluarganya dari Korea Selatan. "Batu nisannya bahkan diganti pemerintah Korea Selatan lewat upacara militer,"
ANTARA