TEMPO.CO, Jakarta - Sejarawan JJ Rizal mengatakan penetapan gelar pahlawan cenderung berdasarkan perhitungan politik ketimbang sejarah. Rizal berpendapat, dalam penetapan gelar itu juga pemerintah minim melibatkan sejarawan dan masyarakat.
Rizal menyampaikan, pemberian gelar pahlawan untuk pendiri Himpunan Mahasiswa Islam Lafran Pane merupakan salah satu contoh pertimbangan politik pemerintah terkait hal ini. Lafran Pane dianggap pahlawan karena berperan melawan pergeseran ideologi negara dari Pancasila ke komunisme.
Baca juga: Menjelang Hari Pahlawan, RI Resmi Punya 173 Pahlawan Nasional
"Artinya kan itu terkait dengan peristiwa 1965, sedangkan peristiwa itu masih kontroversi," kata Rizal kepada Tempo pada Jumat, 10 Novomber 2017.
Rizal menilai pemerintah menafikkan hasil riset sejarawan ihwal peristiwa tersebut. Suara sejarawan, menurut dia, tak lantas menjadi suara negara, salah satunya menjadi pertimbangan dalam menetapkan gelar pahlawan.
"Negara menafikkan itu karena di dalam sistem penilaian kepahlawanan negara itu lebih banyak urusan politik. Misalnya syaratnya harus bersih lingkungan, tidak terlibat peristiwa-peristiwa yang dianggap berlawanan dengan ideologi negara, dan sebagainya," ujarnya.
Begitu pula halnya dengan pemberian gelar pahlawan untuk Laksamana Malahayati yang baru dilakukan tahun ini. Padahal, putri Kesultanan Aceh ini merupakan laksamana perempuan pertama di dunia. Pada tahun 1590-an, Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan "Inong balee" (janda-janda pahlawan yang telah syahid) melawan kolonial Portugis dan Belanda.
"Lagi-lagi urusan politik, keperluan maritim, keperempuanan, barulah diingat (sekarang). Malahayati dikenal dan dirayakan oleh masyarakat Aceh. Namun kan masyarakat Aceh, Sunda, Betawi, dan yang lainnya, untuk punya pahlawan sangat ditentukan oleh pemerintah pusat," kata Rizal.
Rizal berpendapat, seharusnya setiap daerah memiliki otoritas untuk menentukan pahlawannya sendiri. Dia berpendapat, masyarakat di daerah seharusnya dapat menentukan dan merayakan sosok pahlawan mereka sendiri.
Baca juga: Laksamana Malahayati, Pahlawan Nasional Perempuan dari Aceh
"Menurut saya mungkin saatnya kita mendekonstruksi itu, tiap masing-masing daerah merayakan kepahlawanan yang kita tahu dan kenal," kata dia.
Rizal mencontohkan ihwal pemberian nama jalan di daerah. Menurut dia, nama jalan protokol daerah seharusnya dapat menggunakan nama pahlawan daerah tersebut.
"Jalan besarnya ya harus nama pahlawan daerah yang paling besar, kenapa kok harus pahlawan revolusi," ujar Rizal.