TEMPO.CO, Jakarta – Setya Novanto tak hanya mengincar dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, tapi juga Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman dan sejumlah penyidik di lembaga itu. Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian mengatakan Aris dan sejumlah penyidik KPK lainnya dilaporkan pada hari yang sama oleh anggota tim pengacara Setya Novanto, Sandi Kurniawan.
"Berawal dari laporan pada 9 Oktober oleh pengacara Setya Novanto yang melaporkan dua pimpinan KPK, Dirdik KPK, dan juga ada beberapa penyidik," kata Tito di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, Kamis, 9 November 2017.
Dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) bernomor B/263/XI/2017/Dittipidum, yang diterima pelapor Sandi dan ditunjukkan Fredrich Yunadi sebagai pemimpin firma hukumnya, tertulis bahwa pihak terlapor dalam kasus ini tidak hanya dua orang.
Baca: Begini Kronologi Kasus Dirdik KPK Aris Budiman
Dalam SPDP itu tertulis bahwa terlapor adalah Saut, Agus, dan kawan-kawan. Mereka diduga melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan atau Pasal 421 KUHP. Saat dikonfirmasi, Sandi enggan berkomentar mengenai hal tersebut. "Sudah ya, saya tidak mau berkomentar," ujar Sandi dalam pesan pendek yang diterima Tempo.
Kuasa hukum Setnov lainnya, Fredrich Yunadi, mengatakan laporannya mengenai status kasus dugaan tindak pidana pembuatan surat palsu dan penyalahgunaan wewenang dengan terlapor Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Ketua KPK Agus Rahardjo, naik ke tahap penyidikan.
Baca: Tito Karnavian Minta Penjelasan Bareskrim Soal SPDP Pimpinan KPK
Sebelumnya, Tito memerintahkan penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal mencari pendapat dari ahli hukum lain seputar kasus dugaan tindak pidana pembuatan surat palsu dan penyalahgunaan wewenang dengan terlapor Saut dan Agus, juga Aris Budiman.
Menurut dia, langkah yang ditempuh kuasa hukum Setya Novanto dengan melaporkan dua pemimpin KPK ke polisi ini memperlihatkan sebuah kekosongan hukum yang dapat menjadi masalah baru di Indonesia.
ANDITA RAHMA