TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi memberikan gelar pahlawan nasional terhadap empat orang di antaranya Lafran Pane. Lafran Pane yang berasal dari Yogyakarta diberi gelar pahlawan bukan karena terlibat peperangan, namun karena mendorong pertumbuhan gerakan pemuda di Indonesia yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
"Jadi, penyandang gelar pahlawan Nasional bukan hanya mereka yang berjasa di medan perang saja, tetapi mereka yang juga berjasa di bidang lain yang gaung dan manfaatnya dirasakan secara nasional," ujar Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Kamis, 9 November 2017.
Baca juga: Setelah Mantu, Jokowi Beri Gelar Pahlawan Nasional
Lafran mulai melakukan konsolidasi pembentukan HMI sejak November 1946, dan 5 Februari 1947 disebut sebagai tanggal pendirian HMI oleh Lefran Pane bersama 14 orang temannya. Waktu itu, Lafran berusia 23 tahun dan masih di tingkat pertama Sekolah Tinggi Islam (kini UII) Yogya.
Pendidikan formal Lafran di tingkat dasar sebenarnya terputus-putus. Dia sering pindah sekolah, kendati pendidikan agama tak pernah dilupakannya. Anak keenam dari keluarga tokoh Partindo, Sutan Pangurabaan Pane, yang lahir di Kampung Pangurabaan, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada 12 April 1923 itu pernah pula hidup menggelandang di sepanjang jalan kota Medan.
Menganai tanggal lahirnya, dalam buku karya AgussalimSitompul, Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI 1947-1997 (2002). Disebutkan sebenarnya LafranPane dilahirkan pada 5 Februari 1922. Bila selama ini ia menyatakan lahir pada 12 April 1923 (termasuk secara administratif), hal itu semata-mata dilakukan untuk menghindari pengidentikan HMI dengan dirinya.
Setelah diboyong dua kakak kandungnya, sastrawan Pujangga Baru Armijn Pane dan Sanusi Pane, ke Jakarta, Lafran sempat berkumpul dengan gang remaja Zwarte Bente di kawasan Senen. Figur Lafran itu sudah dianggap menyatu dengan identitas HMI.
Selain mendirikan HMI, Lafran Pane sempat berkiprah menjadi dosen di sejumlah universitas di Yogyakarta. Dia sempat menjadi dosen Fakultas Sosial dan politik Universitas Gajah Mada (UGM), dosen Universitas Islam Indonesia (UII), dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia wafat pada 25 Januari 1991 setelah mengalami stroke.
Ketua Presidium Majelis Wilayah KAHMI DIY, Khamim Zarkasih Putro, mengatakan tak mudah mengusulkan Lafran Pane masuk sebagai pahlawan nasional. Terlebih nama-nama dari Yogyakarta yang dianggap sudah overload untuk tokoh penerima gelar pahlawan. Nama Lafran Pane diusulkan sejak tiga tahun silam atau di akhir masa kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Putra Lafran Pane, Iqbal Pane, kaget dan tak menyangka almarhum ayahnya segera bergelar pahlawan nasional. "Kami malah pertama tahu dari media kalau usulan gelar pahlawan itu disetujui Presiden Jokowi," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO | PDAT