TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat tengah menyelidiki dugaan pelanggaran dalam kasus surat dari DPR kepada Komisi Pemberantasan Korupsi berkaitan dengan perkara Setya Novanto. Anggota Mahkamah, Maman Imanulhaq, mengatakan bakal mengusulkan kepada pemimpin Mahkamah agar memanggil Sekretaris Jenderal DPR untuk dimintai keterangan. Selain itu, ia meminta ahli hukum dihadirkan untuk memberi pendapat.
Menurut Maman, pengusutan kasus tersebut diperlukan guna menjaga independensi Sekretariat Jenderal DPR. "Sehingga kesekjenan DPR tetap independen dan tidak jadi alat perseorangan atau golongan," kata dia, Rabu, 8 November 2017. Mahkamah Kehormatan bisa memproses perkara etik tanpa aduan. Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Tata Beracara Mahkamah, perkara bisa diproses berdasarkan usul anggota atau pemimpin Mahkamah.
Baca: Usai Pernikahan Kahiyang, Setya Novanto Komentari SPDP dari KPK
Sebelumnya, DPR melayangkan surat kepada KPK untuk meminta komisi antirasuah itu tidak memeriksa Ketua DPR Setya Novanto sebelum mendapat izin tertulis dari Presiden RI. Surat bertanggal 6 November 2017 yang ditandatangani pelaksana tugas Sekretaris Jenderal DPR itu keluar atas permintaan Setya. Dasarnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76 Tahun 2014 yang menyatakan penegak hukum harus mendapat izin dari Presiden sebelum memeriksa anggota Dewan.
Pakar hukum tata negara, Refly Harun, menyatakan penyampaian surat tersebut tidak etis karena telah menarik Dewan untuk kepentingan pribadi Setya. Selain itu, dalil hukum yang dipakai keliru. Sebab, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya berlaku dalam perkara tindak pidana umum. Sedangkan Setya terbelit kasus korupsi, yang merupakan tindak pidana khusus.
Baca: Gamawan Fauzi: Penyidik KPK Bilang Setya Novanto Sudah Tersangka
Kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi, mengatakan sah-sah saja jika kliennya menggunakan Dewan untuk bersurat ke KPK. Sebab, kata dia, KPK memanggil Setya sebagai Ketua DPR. "Berarti dalam hal ini KPK kurang hati-hati. Kalau mau, hilangkan pekerjaannya, cukup nama dan alamat. Jadi, salah siapa?" ujar dia.
HUSSEIN ABRI | AHMAD FAIZ