TEMPO.CO, Surabaya - Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Hamli mengatakan mulai muncul cara baru perekrutan calon teroris, yakni dengan mendekati tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Para pekerja tersebut, kata Hamli, didekati kelompok Bahrun Naim Anggih Tamtomo melalui aplikasi jaringan pertemanan untuk kemudian digalang menjadi pengikut.
“Kebanyakan TKI di Hong Kong. Ada pula yang di Singapura, Malaysia, dan Jepang, namun tak sebanyak Hong Kong,” katanya dalam workshop sehari bertema "Penyusunan Strategi Nasional Penanggulangan Radikalisme di Indonesia Wilayah Jawa Timur" oleh Wahid Foundation di Surabaya, Selasa, 7 November 2017.
Baca: BNPT Bicara Bahaya Penyebaran Radikalisme dan Terorisme
Hamli menuturkan cara yang lazim dipakai Bahrun adalah dengan mendekati calon pengikut melalui media sosial, terutama Facebook. Di media sosial itu, Bahrun mengunggah ajaran-ajaran radikal. Setelah pesannya ditangkap, barulah dilanjutkan dengan berkomunikasi melalui aplikasi pertemanan dan dicekoki pemahaman radikal.
Bila sudah dianggap terbaiat, Bahrun menemuinya langsung untuk menugasinya meneror. “Beberapa terduga teroris yang kami tangkap, termasuk yang merencanakan aksi penyerangan ke Istana Negara, ialah mantan TKI yang direkrut Bahrun Naim,” ujarnya.
Hamli meminta keluarga TKI di Indonesia sering-sering menelepon. Tujuannya, supaya para TKI itu tidak merasa kesepian di tanah rantau. Sebab, beberapa TKI yang terekrut jaringan teroris, kata Hamli, salah satu faktornya karena merasa sendirian di negeri orang. “Dalam kondisi seperti itu, mereka mudah dimasuki ajaran radikal,” ucapnya.
Simak: Begini Bachrun Naim Manfaatkan Telegram untuk Merancang Teror
Hamli berujar, di Indonesia, rembesan paham radikal semakin kencang ke instansi-instansi pemerintahan. Di sejumlah kementerian dan lembaga, kata dia, mulai terdeteksi masuknya ajaran-ajaran intoleransi yang berpangkal pada radikalisme. “Di kementerian dan lembaga, kami deteksi ada penyusupan paham,” tuturnya.
Adapun di dunia pendidikan, ujar Hamli, infiltrasi bahkan dimulai sejak pendidikan usia dini. Menurutnya, di Malang, ia menemukan beberapa sekolah dasar yang mengharamkan menghormat kepada bendera Merah Putih. Di perguruan tinggi, penyusupan paham radikal bahkan hampir merata, terutama kampus-kampus negeri.
Menurut Hamli, bila tidak diantisipasi secara serius, Indonesia bisa mengarah pada jebakan situasi kekerasan seperti yang terjadi di Suriah. “Di lapangan, kami berupaya melawan itu dengan pendekatan lunak dan keras. Di ranah hukum, kami berupaya merevisi Undang-Undang Antiterorisme,” katanya.
Lihat: Terduga Teroris JAD Bandung Belajar dari Bahrun Naim Via Telegram
Kepala Bidang Kewaspadaan Badan Kesatuan, Kebangsaan, dan Politik Jawa Timur Edy Supriyanto mengatakan, berdasarkan pantauan intelijen, wilayah Madura dan Tapal Kuda masih relatif aman dari penyusupan paham kekerasan lantaran masyarakat masih percaya pada kiai-kiai karismatik setempat.
Adapun di wilayah Mataraman, kendati ditemukan pola-pola rekrutmen, jumlahnya masih kecil. Sebab, masyarakat masih peduli satu sama lain. Sedangkan daerah-daerah yang dianggap mengkhawatirkan, kata Edy, ialah Surabaya, Gresik, Malang, dan Lamongan. “Ada basis-basis rekrutmen di wilayah itu. Namun kami berupaya mengantisipasinya,” ujar Edy.
KUKUH S. WIBOWO