TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Masyarakat Sipil Pro-Pembatasan Remisi Koruptor (Akamsi) mengapresiasi majelis hakim Mahkamah Konstitusi atas putusannya, yang menolak permohonan penghapusan syarat pengetatan remisi terpidana korupsi.
MK menolak seluruh permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Selasa, 7 November 2017. Permohonan tersebut diajukan Otto Cornelis Kaligis, Suryadharma Ali, Waryono Karno, Barnabas Suebu, dan Irman Gusman.
Baca: MK Tolak Gugatan OC Kaligis dkk Soal Remisi Koruptor
Para terpidana korupsi tersebut mengajukan permohonan uji materi pada 9 Agustus 2017 dan diputus MK setelah melalui dua kali sidang pemeriksaan pendahuluan.
Julius Ibrani, juru bicara Akamsi, menyebutkan ada tiga poin penting dalam pertimbangan hakim MK. "Pertama, hak remisi merupakan hak hukum dan bukan hak konstitusional," ujarnya saat dihubungi Tempo, Selasa.
Baca: Alasan Koalisi Sipil Tolak Uji Materi Pasal Remisi
Kedua, pengetatan syarat remisi tidak bisa dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena tidak termasuk kategori HAM. Poin ketiga adalah adanya syarat tambahan remisi bagi terpidana korupsi bukanlah sebuah bentuk perlakuan yang diskriminatif, seperti yang disebut para pemohon.
“Adanya syarat tambahan remisi bagi terpidana korupsi bukanlah sebuah bentuk perlakuan yang diskriminatif karena definisi dari diskriminasi merujuk pada konteks SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan),” katanya.
Syarat utama remisi ialah berkelakuan baik. Namun hakim MK tidak mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) pemohon pada konteks syarat utama remisi tersebut. Hal itu menjadi catatan tersendiri dari Akamsi. “Artinya, jika hanya memenuhi syarat telah menjalani masa hukuman, maka terpidana sudah pasti tidak akan dapat remisi, tanpa perlu ada syarat tambahan yang mengetatkan di PP 99/2012 (Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012),” ucapnya.
TIKA AZARIA