TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengatakan penentuan upah minimum provinsi (UMP) yang merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sudah mengakomodir kepentingan pekerja dan pengusaha.
Menurut Hanif, dengan ketentuan itu tanpa ada desakan dari pekerja, upah pasti naik. Bagi pengusaha, kenaikan upah mudah diprediksi. Apabila nilai upah terlalu fluktuatif, dikhawatirkan menggoncang dunia usaha serta berdampak pada pemutusan hubungan kerja atau PHK.
“Kenaikan upah sesuai dengan PP 78/2015. Ini merupakan cara terbaik untuk mengakomodir semua kepentingan. A win-win solution,” ujar Hanif di Jakarta, Kamis, 2 November 2017,
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, kenaikan upah mempertimbangkan laju inflasi dan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang merujuk data Badan Pusat Statistik. Dengan mempertimbangkan dua hal tersebut, kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71 persen.
Hanif mengapresiasi para gubernur yang telah menetapkan UMP 2018 dengan kenaikan sebesar 8,71 persen. Sebagian provinsi telah melaporkan secara resmi besaran UMP yang telah ditetapkan kepada Kementerian Ketenagakerjaan.
Hanif menuturkan persoalan upah sejatinya urusan pengusaha dan pekerja. Namun, ketika bicara upah minimum, pemerintah berkepentingan memastikan ada jaminan perlindungan bagi tenaga kerja supaya upah tidak dibayar di bawah standar.
“Sebenarnya penentuan upah minimum adalah safety net bagi pekerja,” katanya.
Hanif menyayangkan jika ada yang menganggap upah minimun sebagai upah efektif atau upah layak. Pemahaman itu tidak tepat karena pekerja akan terus menuntut kenaikan. Pengusaha juga keliru dengan memberlakukan upah minimum secara rata tanpa mempertimbangkan masa kerja serta kompetensi. Padahal, ada struktur skala upah, yakni orang yang memiliki kompetensi berbeda dan masa kerja tidak sama, maka akan mendapatkan upah yang berbeda pula. (*)