INFO NASIONAL - Ucapan akademisi par entrepreneur asal Silicon Valley itu memperlihatkan tak mudah bagi perusahaan rintisan berkembang. Mereka harus tepat merumuskan strategi, model bisnis, dan kinerja perusahaan yang tepat agar tetap kinclong. Tak hanya bagi konsumen, tapi juga investor yang bisa melihat prospek usaha rintisan tersebut ke depan.
Bukan rahasia umum lagi kalau investor berani melakukan pertaruhan dengan “membakar duit” terlebih dulu untuk menggaet konsumen. Investor akan melihat model bisnis yang akan muncul dengan dasar pelanggan yang besar. Perusahaan rintisan dapat mengarahkan berbagai aktivitas digital berbasis pada aplikasi yang telah mereka buat dan digunakan banyak konsumen. Lalu, bagaimana cara membangun bisnis yang sukses dan meminimalisasi risiko agar investor bisa yakin dan mau berinvestasi. Sebelumnya, Venture Capital dan investor lain, khususnya di Indonesia itu tidak ingin berinvestasi pada bisnis yang belum proven di negara lain karena risikonya tergolong besar. Lebih baik membangun bisnis di bidang yang belum tersentuh atau belum ada pemainnya di Indonesia tetapi sudah ada bukti bisnis yang dijalankan.
Setidaknya ada empat faktor, pertama kenali risiko model bisnis. Sebaiknya tidak perlu mengekor keberhasilan Amerika Serikat karena kondisinya berbeda dengan Indonesia. Dengan model bisnis, pasar, eksekusi, dan teknologi yang tepat, usaha rintisan dengan rasa lokal bisa meraih kesuksesan. Dalam mencari investor, sebaiknya sesuaikan dengan basis bisnis rintisan . Kalau bergerak di bidang mobile game, maka perlu dicari investor yang paham betul dengan industri ini. Sehingga nanti investor dapat memberi pandangan dengan jernih pada arah pasar bisnis rintisan seperti menggarap pasar luar negeri ataupun sekadar ada di Tanah Air.
Kedua adalah risiko pasar. Apabila ukuran pasarnya kecil maka untuk tetap bertahan sebaiknya perlu memperluas pasar yang lebih potensial. Ceruk pasar Indonesia masih banyak belum yang digarap sehingga perlu dicari agar bisa dieksplorasi. Ketiga risiko teknologi. Perlu selalu untuk update dengan perkembangan teknologi sekaligus bisa mengadaptasi ke dalam usaha rintisan. Sebagai contoh ketika fintech berkembang melalui pembayaran virtual. Itu dapat dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan pasar sekaligus memberi kemudahan kepada konsumen.
Keempat adalah risiko eksekusi. Sama seperti bisnis lain, usaha rintisan juga bergantung kepada ide-ide segar. Namun ide hanya berhenti sebagai ide bila tidak menjadi nyata. Untuk meminimalkan risiko eksekusi biasanya usaha rintisan harus memiliki tim yang kompeten dan ahli di bidangnya. Sehingga ketika dieskekusi, manajemen risiko sudah dipikirkan matang.
Tentu menarik melihat bagaimana keberhasilan Tiket.com atau Go-Jek yang berhasil menggarap ceruk pasar berbeda di Indonesia. Awalnya, solusi Tiket.com sederhana bagaimana memudahkan orang membeli tiket tanpa perlu pergi ke agen karena bisa dilakukan sendiri di depan komputer. Sementara Go-Jek berangkat dari pemikiran bagaimana dapat naik ojek dengan mudah tanpa perlu menunggu atau mencari ojek yang sedang mangkal. Cukup dari telepon seluler, orang dengan mudah menggunakan jasa ojek.
Di sisi lain, pendampingan dari modal ventura bagi usaha rintisan awal menjadi penting. Seperti disediakan Ideabox Ventures yang digagas Indosat Ooredoo, Mountain Partners, dan Kejora. Selain bisa memberi pendanaan awal, juga bakal membantu usaha rintisan dalam memahami pasar dengan lebih baik.
Bila ingin usaha rintisan kinclong maka memanfaatkan pasar Indonesia masih sangat luas sangat diperlukan. Tinggal bagaimana mengeksplorasi ceruk pasar yang ada sehingga bisa diterima dengan baik masyarakat. (*)