TEMPO.CO, Jakarta - Nasib pekerja migran Indonesia diyakini makin terlindungi dengan disahkannya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pekan lalu.
Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia Ayub Basalamah mengatakan dalam undang-undang baru tersebut, masalah rekrutmen calon pekerja migran menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Pihak swasta, dalam hal ini perusahaan, pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta hanya sebagai marketing penempatan.
Baca Juga:
“Tentang rekrutmen, pelayanan data imigrasi, kesehatan, serta pelatihan peningkatan skill menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Ini cermin negara hadir dalam perlindungan pekerja migran sejak dari kampung halaman,” kata Ayub di Jakarta, Selasa, 31 Oktober 2017.
Terkait dengan pelayanan data, pemerintah pusat dan daerah sudah membuka layanan satu atap. Penempatan tenaga kerja Indoensia (TKI) juga sesuai dengan informasi dari Atase Ketenagakerjaan Indonesia di negara tujuan. Namun, terkait dengan pelatihan dan sertifikasi kompetensi, diharapkan pemerintah segera meyiapkan infrastrukturnya.
Ayub meyakini dengan undang-undang baru tersebut, pekerja migran Indonesia makin terlindungi. Ia mengakui selama ini sering dijumpai adanya manipulasi data TKI yang bekerja di luar negeri, misalnya, pemalsuan alamat dan usia. Selain itu, ada TKI yang ditempatkan dengan skill rendah. Dengan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang baru, kejadian demikian diharapkan tidak terjadi lagi.
“Sebagai penanggung jawab rekrutmen, tentu pemerintah tak akan mengirim TKI secara sembarangan,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menuturkan pihaknya mengapresiasi perubahan-perubahan yang signifikan dalam undang-undang itu terkait dengan tata kelola migrasi tenaga kerja, terutama dengan adanya penguatan peran negara, baik dari pemerintah pusat maupun daerah. “Hal ini memperlihatkan adanya komitmen menghadirkan dalam memberikan perlindungan pada buruh migran, mengakhiri proses sentralisasi tata kelola migrasi tenaga kerja yang eksploitatif, serta mendorong tanggung jawab dan rasa kepemilikan dari pemerintah daerah mengenai perlindungan buruh migran,” ujarnya.
Setelah disahkan DPR, selanjutnya menunggu pemerintah mengundangkan undang-undang tersebut. Wahyu berharap pemerintah memastikan undang-undang tersebut tidak dibajak kepentingan-kepentingan antiburuh migran yang cerdik memanfaatkan celah-celah potensi kelemahan undang-undang itu. (*)