TEMPO.CO, Semarang - Pemilihan gubernur (pilgub) Provinsi Jawa Tengah ditargetkan memenuhi angka partisipasi 77,5 persen. Berbagai upaya akan dilakukan, di antaranya mengemas politik dalam kultur Jawa Tengah.
"Secara nasional, 77,5 persen target normatifnya, tetapi kita realistis. Di Jawa Tengah, bisa mendorong target 60 persen saja itu sudah luar biasa. Namun kita berharap tetap tercapai target 77,5 persen," kata Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Tengah Joko Purnomo kepada Tempo, Minggu, 29 Oktober 2017.
Dalam memenuhi target tersebut, Joko mengaku melakukan berbagai upaya, salah satunya mengemas politik dalam kultur Jawa Tengah dan pendidikan politik untuk pemilih pemula. Selain itu, kualitas pemilih sangat diperlukan untuk menciptakan iklim pilgub yang kondusif.
Baca juga: 5 Kelompok Tanyakan Syarat Calon Independen Pilgub Jawa Tengah
"KPU tidak risau dengan jumlah pemilih. Yang kami utamakan adalah kualitas partisipasi, bukan kuantitasnya. Masyarakat harus bisa mengetahui apa saja norma dalam pemilu," ujarnya.
Kualitas yang dimaksud Joko adalah masyarakat memperhatikan isu politik uang yang harus dihindari. Penyaluran hak suara menjadi tanggung jawab moral masyarakat untuk memilih calon yang dianggap mampu memimpin Jawa Tengah menurut nuraninya.
Di Jawa Tengah, angka partisipasi pemilih paling rendah ada di Kabupaten Pemalang. Menurutnya, Pemalang merupakan wilayah dengan banyak perantau. Saat pencoblosan, Joko menjelaskan, mereka tidak hadir karena bekerja di luar daerah. "Itu yang membuat angka partisipasi di Pemalang selalu rendah. Dalam pilihan bupati pun juga rendah," ucapnya.
Baca juga: Pilgub Jateng Masih Sepi, Ganjar Pranowo: Partai Lain Nunggu PDIP
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Joko mengaku petugas harus mengkonfirmasi kepastian kehadiran pengguna hak suara. Jika tidak memungkinkan hadir, bisa dicoret dari daftar pemilih tetap (DPT). Ia mencontohkan, warga negara Indonesia yang menjadi tenaga kerja di luar negeri, yang tak bisa pulang karena baru melaksanakan kontrak, bisa dikeluarkan dari DPT.
Langkah itu juga untuk menghindari pemborosan logistik. Menurut Joko, selama ini, banyak surat suara tidak terpakai karena, contohnya, ada warga yang tetap dimasukkan dalam DPT, padahal pemilih itu sakit jiwa. "Jadi, selama tidak ada surat resmi dari dokter yang menyatakan dia sakit jiwa, maka masih dimasukkan dalam DPT. Itu kendalanya," tuturnya.
Baca juga: Romahurmuziy Menilai Pilkada Jawa Tengah Terlambat Panas
Selain mengantisipasi daerah dengan partisipasi yang selalu rendah, daerah dengan DPT yang selalu banyak kesalahan juga diantisipasi. Menurutnya, kerawanan pilkada sangat relatif, tergantung subyektivitas mana akan menilai. "Rawan money politic, semua daerah hampir ada. Kalau rawan soal keamanan, kami serahkan kepada pihak keamanan. Namun sejauh ini tidak ada yang sampai merusak logistik," katanya.