TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sonny Sumarsono mengatakan sistem rekrutmen pegawai negeri masih membuka peluang intervensi dari kepala daerah. Menurut Sumarsono, untuk memberangus praktik jual-beli jabatan pegawai negeri memang tidak cukup hanya mengandalkan sistem semata. “Kalau kamu dikasih pisau, kan ada dua tujuannya. Bisa untuk membunuh orang atau menebang pohon,” kata Sumarsono saat dihubungi, Sabtu, 28 Oktober 2017.
Sebelumnya, 20 orang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu, 25 Oktober 2017. OTT dilakukan di dua tempat, yaitu Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur; dan Jakarta dalam perkara suap jual-beli jabatan. Bupati Nganjuk Taufiqurrahman dan istrinya, Ita Triwibawati, dua kepala dinas dan tiga kepala sekolah menengah pertama (SMP), terjaring operasi tersebut. KPK juga mengamankan uang bukti suap Rp 298 juta.
Baca: Bupati Nganjuk Ditangkap KPK Seusai Arahan Jokowi Soal OTT
Dari 20 orang tersebut, hanya lima orang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Taufiqurrahman, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nganjuk Ibnu Hajar, dan Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Ngroggot, Nganjuk, Suwandi. Dua orang lain ditetapkan sebagai pemberi suap, yaitu Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk Mokhammad Bisri dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk Harjanto.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan praktik jual-beli jabatan di Nganjuk dilakukan pada beberapa posisi, seperti kepala SD, SMP, SMA, kepala dinas, hingga kepala bagian. Tarif jabatan yang dipatok, kata Basaria, berbeda untuk tiap jabatan. "Rata-rata untuk kepala sekolah SD sekitar Rp 10-25 juta, SMP dan SMA sekitar Rp 50 juta, untuk kepala dinas, pasti lebih besar dari itu,” ujarnya di gedung KPK, Jakarta Selatan, pada Kamis, 26 Oktober 2017.
Simak: OTT Bupati Nganjuk, KPK Amankan 15 Orang
Sumarsono mengatakan sistem perekrutan pegawai negeri sebenarnya telah mengurangi potensi jual-beli jabatan. Salah satunya dengan mekanisme lelang jabatan terbuka. “Diatur dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.”
Untuk jabatan kepala dinas atau promosi pegawai dari eselon III ke eselon dua, UU mengharuskan adanya panitia seleksi yang terdiri atas dua unsur. Unsur pertama merupakan internal pemerintah dan unsur kedua merupakan pihak eksternal seperti pakar dan akademisi.
Panitia seleksi ini kemudian menawarkan tiga nama calon kepala dinas yang nantinya akan disetujui oleh kepala daerah (bupati, wali kota, maupun gubernur). Pada tahap inilah potensi intervensi atau jual-beli jabatan bisa saja terjadi. “Saya kira peluangnya itu ada dua, bisa yang nilai tertinggi atau yang bisa membayar paling tinggi, tergantung mentalitas pejabat,” kata Sumarsono.
Lihat: Ditahan KPK, Bupati Nganjuk Minta Maaf
Hal yang sama terjadi pada perekrutan kepala sekolah. Sumarsono mengatakan kewenangan penunjukan kepala sekolah memang diserahkan kepada kepala dinas pendidikan setempat. Meski tidak ada panitia seleksi, calon kepala sekolah akan diuji oleh badan pertimbangan jabatan internal di pemerintah daerah. “Tapi kalau dia (kepala dinas pendidikan) dapat setoran, pasti ngelapor juga ke atas.”
Seluruh sistem perekrutan pegawai negeri, kata Sumarsono, telah diatur sedemikian rupa. Namun praktik jual-beli jabatan masih saja terjadi. “Ya memang tinggal bupatinya (kepala daerah) saja, benar atau gak benar.”