TEMPO.CO, Jakarta - Tanpa didampingi oleh kuasa hukum, terdakwa kasus suap paspor dan calling visa, Dwi Widodo berlalu meninggalkan ruang persidangan. Ia berjalan menuruni tangga menuju areal parkiran di Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat.
Tempo sempat melihat Dwi mengusap pelipis mata dengan tangan kirinya. Kedua matanya terlihat memerah meski tak ada air mata. Beberapa menit sebelumnya, Ia baru saja divonis 3,5 tahun bui oleh majelis hakim.
Dwi Widodo adalah mantan atase imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Malaysia 2013-2016. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 7 Februari 2017. Dia diduga menerima suap dalam pembuatan paspor bagi warga negara Indonesia di Malaysia dengan metode reach out tahun 2016. Dwi juga diduga menerima uang dari pembuatan visa (calling visa) tahun 2013-2016.
Baca juga: Kasus Suap Paspor, Dwi Widodo Dituntut 5 Tahun Penjara
Pukul 13.30 WIB, Jumat, 27 Oktober 2017, Dwi hadir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat guna mendengarkan putusan dari majelis hakim. Hadir di ruang persidangan sejak pukul 09.00 WIB, 4,5 jam lamanya Dwi menunggu sampai akhirnya sidang vonis dimulai.
Dalam putusannya, majelis hakim menjatuhi vonis 3,5 tahun bui dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis ini sebenarnya lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK sebelumnya yaitu 5 tahun bui dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan.
"Menyatakan terdakwa Dwi Widodo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut," kata Ketua Majelis Hakim Diah Siti Basariah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Jumat 27 Oktober 2017.
Hakim juga memutuskan pasal yang dikenai kepada Dwi adalah pasal tentang suap, yaitu pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Atas putusan ini, majelis hakim memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan KPK. Sementara masa kurungan tiga bulan yang dijatuhkan, akan dikurangi dengan masa kurungan yang sudah dijalani terdakwa sejak menjadi tersangka.
Di samping ruang khusus tahanan yang berada di areal parkiran, Ia duduk di kursi besi, diam, seorang diri. "Sudah selesai semua kan ?" kata Dwi kepada Tempo. Meski dijatuhi vonis yang lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK, Ia tampak masih tidak menerima dijatuhi dengan pasal penerimaan suap. "Saya itu cuma gratifikasi biasa," kata Dwi.
Baca juga: Uang Suap ke Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Lewat CSR
Beberapa saat menunggu di areal parkiran, sebanyak 13 orang kemudian berjalan mendekati Dwi, 10 orang bapak-bapak dan 3 ibu-ibu. Mereka berkumpul, berdiri mengelilingi Dwi yang masih saja duduk.
Beberapa dari mereka saling bersahutan, sebagain menyesalkan tuntutan jaksa KPK, sebagain lain memberi semangat kepada Dwi. Seorang laki-laki sambil merokok berkata, "Paling kalau sudah dikurangi masa tahanan tinggal 2 tahun saja." Seorang ibu-ibu menimpalinya, "1,5 tahun lah."
Ibu-Ibu menyahut, "Jaksa tidak cermat." Kemudian yang lainnya berkata kepada rekannya, "Nanti kita ke Guntur Pak Heri." Guntur, Jakarta Selatan, merupakan lokasi tempat Kompleks POM Angkatan Darat. Sebuah rumah tahanan bagi terpidana korupsi milik KPK berada di dalamnya.
Seorang bapak-bapak sempat bertanya kepada Dwi, "Kenapa dulu ga jadi JC (Justice Collaborator) saja? kan masa hukuman bisa berkurang". Dwi kemudian membeberkan alasannya. "Kalau jadi JC itu, kayak kaki diikat, terus diseret-seret," ujarnya.
Kepada Tempo, Dwi mengakui bahwa 13 orang ini adalah keluarganya sendiri. 13 orang ini jugalah yang hadir menemani Dwi selama persidangan vonis atas kasus suap yang menjerat dirinya.
Usai mendengar putusan dari majelis hakim, Dwi Widodo maupun jaksa KPK kompak menyatakan "pikir-pikir" (mempertimbangkan putusan). Majelis hakim memberikan waktu selama tujuh hari untuk kedua belah pihak untuk nantinya mengambil sikap.