TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia hari ini menerima pengaduan dari enam orang korban tragedi 1965 yang tergabung dalam Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP65). Kepada YPKP65, Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron menyampaikan bahwa tidak mudah untuk membangun rekonsiliasi antara korban dan pelaku pembunuhan dalam peristiwa kelam tersebut.
“Harus ada dua syarat dari rezim yang berkuasa, pertama mereka punya perhatian pada hak asasi manusia, kedua mereka mau membawa para pelaku ke pengadilan,” kata Nurkhoiron di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa, 24 Oktober 2017.
Jangankan untuk membawa pelaku ke pengadilan, kata Nurkhoiron, mempertemukan antara korban dan pelaku saja sangat sulit. “Bapak berkali-kali datang ke sini juga gak ada gunanya kalau dua hal itu tidak ada,” ujarnya.
Baca juga: Datangi Komnas HAM, Bedjo Untung YPKP65 Laporkan Dokumen AS
Hari ini, enam orang anggota YPKP65 yang dipimpin oleh Bedjo Untung mengadukan tiga laporkan kepada Komnas HAM. Ketiganya yaitu penemuan 10 lokasi kuburan massal baru, tindakan intimidasi oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan dan aparat komando distrik militer (kodim) kepada anggota mereka, dan dokumen rahasia Amerika Serikat terkait keterlibatan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dalam tragedi 1965/1966.
Selain melakukan pengaduan, Bedjo dan rekan-rekannya juga menuntut Komnas HAM untuk melakukan tindak lanjut atas laporan tersebut, termasuk upaya rekonsiliasi. Bedjo meminta Komnas HAM untuk mendata lokasi kuburan massal yang sudah ditemukan oleh YPKP65. “Kalau perlu Komnas HAM juga dapatkan itu dokumen AS yang sudah banyak diberitakan,” kata dia.
Mendegar hal tersebut, Nurkhoiron tampak membela diri. “Rekonsiliasi bukanlah tugas Komnas HAM, jangan hanya membebankan kasus 1965 itu kepada kami.” Nurkhoiron menyebut lembaganya memiliki keterbatasan, sebab apapun temuan Komnas HAM nantinya akan tetap dilimpahkan kepada kejaksaan.
Baca juga: Komnas HAM Akan Lanjutkan Penyelidikan Peristiwa 1965
Jika sudah sampai ke kejaksaan, ujarnya, maka penyelesaian kasus sangat tergantung dari kemauan politik pemerintah. “Walau sebenarnya kita terus komunikasi dengan jaksa agung,” kata Nurkhoiron.
Bedjo tiba-tiba memotong omongan Nurkhoiron, “jadi apa rekomendasi yang diberikan Komnas HAM ?” tanya dia.
Nurkhoiron balik menjawab bahwa saat ini sistem internal di lembaganya juga belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Laporan serupa, menurut dia sudah pernah disampaikan kepada Komnas HAM. “Namun hilang, dibawa oleh komisioner lama, kami terus perbaiki, jangan pikir setelah dari sini, saya juga diam saja” ujarnya.
Baca juga: Korban Peristiwa 1965 Mengaku Diintimidasi oleh Ormas dan Aparat
Meski telah didengar selama 1,5 jam lebih, Bedjo tampak tak puas dengan jawaban Nurkhoiron. Ia membenarkannya. “Saya prihatin kalau lembaga negara seperti ini belum juga memiliki sistem yang bagus.”