TEMPO.CO, Yogyakarta - Permaisuri Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, menuturkan putusan Mahkamah Konstitusi yang memberi peluang bagi perempuan menjadi Gubernur DIY tak ada kaitannya dengan isu raja perempuan Keraton Yogya yang tengah menjadi polemik.
“Putusan MK itu sebenarnya kan tidak ada kaitannya dengan (wacana) raja perempuan,” ujar GKR Hemas di Yogyakarta, Selasa, 24 Oktober 2017.
Baca juga: Soal Raja Perempuan di Keraton Yogya, Ini Kata Putri Gus Dur
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor 88/PUU-XIV/2016 yang telah dirilis di laman resmi milik Mahkamah sejak akhir Agustus 2017 membuka celah bagi perempuan untuk menjadi Gubernur DIY ke depan. Putusan itu menganulir sebuah persyaratan calon Gubernur DIY dengan menghilangkan frasa istri yang tertuang dalam Pasal 18 ayat 1 huruf m.
Putusan itu belakangan ditafsirkan bahwa ada peluang perempuan menjadi Raja Keraton Yogyakarta. “Pada putusan MK, kan, hanya menghilangkan kata seizin istri, kenapa harus dipersoalkan? Tinggal dijalankan saja,” ucap Hemas.
Baca juga: Sultan HB X Dilantik, Muncul Maklumat tentang Raja Yogya
Hemas justru menilai yang menghubung-hubungkan putusan itu dengan isu suksesi raja di Keraton Yogyakarta merupakan pihak yang punya kepentingan. “Yang nggandeng-gandengke (menghubung-hubungkan) putusan MK itu (dengan wacana raja perempuan) biasanya yang punya kepentingan,” tuturnya.
Hemas pun meminta putusan Mahkamah soal pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY sebagai putusan final tidak perlu menjadi polemik lagi. “Ya wis, ora usah takon meneh (Ya sudah, enggak usah dipertanyakan lagi),” katanya.
Baca juga: Mereka yang Berpeluang Gantikan Sultan HB X
Meski hanya membuka peluang perempuan menjadi Gubernur DIY, putusan Mahkamah itu sempat memperuncing polemik di kalangan internal keraton. Sebab, jika perempuan berpeluang menjadi gubernur, implikasinya Raja keraton Yogya ke depan juga dimungkinkan dari kalangan perempuan. Sebab, Undang-Undang Keistimewaan mengatur gubernur dan wakil gubernur hanya bisa diisi raja keraton bertakhta, bukan kalangan lain.
Sejumlah kerabat keraton menilai adanya raja perempuan akan bertentangan dengan paugeran atau patokan adat yang selama ini dianut Keraton Yogyakarta dan dapat memutus darah keturunan Sultan Hamengku Buwono sebagai pendiri Yogyakarta.
PRIBADI WICAKSONO