TEMPO.CO, Jakarta - Pembahasan RUU Penyiaran dinilai sarat kepentingan politik. Direktur Indonesia New Media Watch, Agus Sudibyo, mengatakan saat ini tarik-menarik kepentingan politik dalam pembahasan RUU Penyiaran begitu terasa. Pasalnya, pembahasan RUU Penyiaran itu dilakukan dua tahun menjelang Pemilu 2019.
"Dibahas ketika situasi politik sedang genting-gentingnya,” ujar Agus dalam diskusi "RUU Penyiaran, Demokrasi, dan Masa Depan Media" di Cikini, Jakarta, Sabtu, 21 Oktober 2017.
Menurut Agus, kepentingan politik itu berkelindan dengan kepentingan pemilik modal industri penyiaran. Ia khawatir terburu-burunya pengesahan RUU Penyiaran hanya dijadikan alat politik partai menjelang pemilu. "Ini sangat dominan karena yang aktif dalam pembahasan adalah parpol, politikus, dan asosiasi industri".
Baca: Pengamat: Pembahasan RUU Penyiaran Sarat Kepentingan Politik
RUU ini pertama kali dibahas oleh Komisi I DPR pada 2010. Kala itu, DPR telah mengadopsi 80 persen dari draf yang disodorkan publik. Namun, hingga akhir 2014, pembahasan revisi tak kunjung kelar dan dilanjutkan pada tahun berikutnya. Tahun ini, RUU tersebut kembali ramai dipersoalkan.
Pada Senin, 16 Oktober, sejumlah orang mengatasnamakan Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) berunjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka mempersoalkan keinginan Badan Legislasi DPR meloloskan konsep multi-mux operator dalam RUU Penyiaran yang dianggap sarat kepentingan politik dan pemilik modal industri penyiaran. Sebagian pemilik modal industri penyiaran memang sekaligus merupakan petinggi partai politik.
Konsep multi-mux dianggap merugikan negara. Berdasarkan analisis ATSDI, pendapatan swasta dari industri penyiaran mencapai Rp 133 triliun per tahun, sementara potensi pendapatan negara dari penggunaan frekuensi oleh swasta hanya Rp 86 miliar per tahun. Karena itu, ATSDI mendesak Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui sikap Komisi I, yang mendukung konsep single-mux operator dalam frekuensi penyiaran.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Agung Suprio, mengatakan penerapan single-mux memungkinkan dengan dasar perintah Undang-Undang Dasar 1945. "Karena filosofi sumber daya alam, air, tanah, udara adalah milik negara untuk kepentingan masyarakat," kata dia. Frekuensi masuk kategori kekayaan tersebut. Namun sistem multi-mux berpotensi menciptakan dominasi pemerintah.
Anggota Badan Legislasi DPR, Luthfi Andi Mufthi, mengatakan saat ini sikap Dewan masih terbelah. "Kemarin pembahasannya berimbang," kata politikus Partai NasDem itu. Ia mengakui frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas sehingga negara harus hadir dalam pengelolaan. Namun, dia melanjutkan, peran sektor swasta tidak bisa dihilangkan. "Boleh negara mengatur frekuensi, tapi tidak boleh membuat swasta menjadi mati.”
Adapun Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI), Niel Tobing, meminta DPR memperhatikan industri penyiaran yang melakukan investasi terlebih dulu. "RUU Penyiaran ini harus memperhatikan effort industri yang sudah existing," ujar Niel Tobing.