TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), Reda Manthovani, menilai pembentukan Densus Antikorupsi tidak tepat. Seharusnya, kata Reda, yang dilakukan adalah memperkuat Direktorat Tindak Pidana Korupsi Kepolisian RI, Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (P3TPK) Kejaksaan RI, dan Tim Sapu Bersih Pungutan Liar dengan memberikan kewenangan dan anggaran yang cukup.
Reda justru mempertanyakan jumlah anggaran yang diperlukan untuk membentuk Densus Antikorupsi, yang mencapai Rp 2,6 triliun. “Ini sangat bertolak belakang dengan turunnya anggaran penanganan perkara korupsi di kejaksaan negeri, yaitu dari rata-rata lima perkara korupsi per tahun menjadi hanya satu perkara korupsi per tahun pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2016 dan 2017,” katanya di Bakoel Koffie, Jakarta, Minggu, 22 Oktober 2017.
Baca juga: Soal Densus Antikorupsi, Zulkifli Hasan Memilih Memperkuat KPK
Padahal, menurut dia, kejaksaan negeri merupakan ujung tombak penanganan perkara korupsi di daerah. Penguatan anggaran penyidikan tindak pidana korupsi, kata Reda, harus beriringan dengan penguatan anggaran penuntutan.
Sebelumnya, rencana pembentukan Densus Antikorupsi disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 23 Mei lalu. Setelah itu, Tito terus mendesak pembentukan Densus Antikorupsi saat rapat dengan DPR.
Baca juga: JK Kembali Ungkapkan Penolakan Terhadap Densus Antikorupsi Polri
Jaksa Agung M. Prasetyo sudah menolak mengirim jaksa untuk bergabung dengan Densus Antikorupsi. Dalam rapat gabungan antara Komisi III, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Kejari pada 16 Oktober lalu, Prasetyo menegaskan Kejaksaan Agung telah memiliki Satgasus P3TPK sejak 2015. “Tidak perlu personel jaksa berada satu atap dalam Densus Tipikor,” ucap Reda.
Ia menyebutkan, berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejari, dan Pasal 18 ayat (1) Unandg-Undang Nomor 16 Tahun 2004, penempatan jaksa penuntut umum di bawah Densus Antikorupsi, yang secara struktural di bawah Polri, merupakan suatu tindakan yang melanggar undang-undang.
Baca juga:Inilah Tiga Penyebab Ide Densus Antikorupsi Bikin Gaduh