TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran oleh Dewan Perwakilan Rakyat sarat kepentingan politik. Sebab, menurut dia, pembahasan RUU Penyiaran dilakukan dua tahun menjelang pemilihan umum 2019.
"RUU penyiaran dibahas ketika situasi politik sedang genting-gentingnya. RUU ini hendak disahkan dua tahun menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden," kata Agus dalam diskusi bertema “RUU Penyiaran, Demokrasi, dan Masa Depan Media” di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 21 Oktober 2017.
Baca: Pembahasan RUU Penyiaran Terhambat, Ini Penyebabnya
Agus menduga tarik-menarik kepentingan politik dalam pembahasan RUU Penyiaran menjadi begitu dominan. Hal itu, menurut dia, perlu diantisipasi agar jangan sampai RUU Penyiaran lebih banyak mengakomodasi kepentingan politik dan bisnis. "Sehingga kepentingan publik dinomortigakan," ujarnya.
Ia pun memperingatkan bahwa pembahasan RUU di Dewan selalu erat kaitannya dengan konteks politik. Ia khawatir terburu-burunya pengesahan RUU Penyiaran hanya dijadikan alat politik partai menjelang pemilu. "Ini sangat dominan karena yang aktif dalam pembahasan adalah parpol, politikus, dan asosiasi industri," ucap Agus.
Baca: Revisi UU Penyiaran, Lembaga Penyiaran Raksasa Diduga Bermain
Anggota Badan Legislasi DPR, Luthfi Andi Mutty, mengatakan RUU Penyiaran ini sudah dibahas sejak 2008. "Ada sistem kerja yang tidak mengenal carry over. Yang dibahas di periode lalu tidak otomatis dilanjutkan, tapi mulai dari awal," katanya.
Politikus Partai NasDem itu mengakui ada perbedaan pendapat saat pembahasan RUU Penyiaran. Beberapa di antaranya terkait dengan pemegang dan sistem operasi antara single mux dan multipleks, serta migrasi penyiaran analog ke digital. "Sekarang masih tahap harmonisasi di Baleg," ujar Luthfi.