TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Agung Suprio mengatakan perdebatan soal penentuan operator lembaga penyiaran publik menjadi penyebab molornya pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran. Ia khawatir tidak menemukan titik temu sehingga pembahasan RUU menjadi makin lama.
"Ini menjadi RUU yang paling lama dibahas dan kami khawatir tak kunjung menemui titik temu. Jadi kami masih pakai undang-undang lama yang sudah usang," ujar Agus dalam diskusi bertema “RUU Penyiaran, Demokrasi, dan Masa Depan Media” di Warung Daun, Jakarta Pusat, Sabtu, 21 Oktober 2017.
Baca: Revisi UU Penyiaran, Lembaga Penyiaran Raksasa Diduga Bermain
Agung mengatakan pembahasan soal siapa yang menjadi pemegang operator membuat pembahasan mandek. Ini berkaitan dengan penerapan sistem single mux atau multi mux yang bakal digunakan. "Mandeknya di DPR hanya karena satu hal, siapakah yang menjadi pengelola mux," tuturnya.
Agung menjelaskan, penerapan single mux dapat digunakan dengan dasar perintah Undang-Undang Dasar 1945. "Karena filosofi sumber daya alam, air, tanah, udara adalah milik negara untuk kepentingan masyarakat," katanya. Padahal, Agung menambahkan, sistem ini dinilai memunculkan otoritarianisme negara kepada lembaga penyiaran.
Baca: Fatal, RUU Penyiaran Versi Baleg DPR Hapus Larangan Iklan Rokok
Sementara itu, jika sistem multi mux digunakan, Agung memprediksi pihak swasta akan menerapkan beban kontrak kepada televisi lain dengan harga yang mahal. "TV dengan rating tinggi, ini bisa dimatikan kalau pengelolanya swasta," ucapnya.
Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, Luthfi Andi Mutty, mengakui adanya keterbelahan di Dewan dalam menentukan pemegang operator lembaga penyiaran, apakah sistem single mux atau multi mux. "Kemarin pembahasannya berimbang," kata politikus Partai NasDem itu.
Luthfi mengakui frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas sehingga negara harus hadir dalam pengelolaan. Namun peran sektor swasta tidak bisa dihilangkan agar informasi publik menjadi berimbang. "Boleh negara mengatur frekuensi, tapi tidak boleh membuat swasta menjadi mati," katanya.