TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bakal melanjutkan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat terkait dengan peristiwa 1965. Rencana itu dicetuskan setelah dokumen rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia periode 1964-1968 dibuka ke publik.
"Penyelidikan lanjutan mungkin dilakukan karena memang Jaksa Agung belum menaikkan statusnya ke penyidikan," kata Ketua Komnas HAM Nur Kholis kepada Tempo, Jumat, 20 Oktober 2017.
Baca: Amnesty International: Dokumen AS Gambaran Awal Peristiwa 1965
Sebagai langkah awal, Nur Kholis mengatakan lembaganya dalam waktu dekat akan meminta dokumen resmi di Amerika Serikat. Menurut dia, Komnas HAM telah berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. "Pekan depan kami mendiskusikan dokumen itu," ujarnya.
Sejak 2008, Komnas HAM telah mengusut dugaan adanya pembantaian secara terorganisasi terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) ini. Namun upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini belum juga berlanjut.
Baca: Dokumen AS Dibuka, Diskusi Sejarah 1965 Berpotensi Diawasi
Persoalannya, berkas penyelidikan yang diserahkan Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung disebut tak lengkap. Berkas tersebut berulang kali dikembalikan sehingga perkara dugaan pelanggaran HAM berat tersebut tak pernah naik ke penyidikan. Pada 2012, hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan ada dugaan kuat pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965.
Rencana Komnas HAM melanjutkan penyelidikan didukung koalisi masyarakat sipil. Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan Komnas HAM bisa menjadikan dokumen itu informasi tambahan. Sikap yang sama seharusnya juga dilakukan pemerintah dengan menjadikan momen ini untuk mengungkap fakta tentang peristiwa 1965-1965. "Dokumen ini sudah bicara gamblang. Kalau pemerintah ragu, bisa ajukan bukti dengan membuka arsip militer," kata Usman.
Dokumen rahasia itu antara lain memuat sejumlah informasi tentang keterlibatan Amerika Serikat dan TNI Angkatan Darat dalam rencana kudeta pemerintahan Presiden Sukarno. Ada juga informasi tentang dugaan keterlibatan militer dan sejumlah organisasi kemasyarakatan dalam pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI selepas peristiwa 30 September 1965.