TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menganggap penyelesaian perkara peristiwa 1965 masih jauh dari usai. Deklasifikasi Arsip Keamanan Nasional (NSA) dan Pusat Pengungkapan Dokumen Nasional (NDC) Amerika Serikat tentang peristiwa 1965, menurut dia, hanyalah satu langkah menuju upaya penyelesaian.
"Ibaratnya menaiki anak tangga, dari anak tangga pertama sekarang naik ke anak tangga ke dua," ujar Usman kepada Tempo pada Jumat, 20 Oktober 2017.
Baca: Dokumen AS Dibuka, Diskusi Sejarah 1965 Berpotensi Diawasi
Belum lama ini, NSA dan NDC membuka sejumlah surat telegram rahasia diplomatik Amerika Serikat yang di antaranya mengungkap ada keterlibatan pihak asing dalam peristiwa 1965. Total ada 39 dokumen dengan tebal 30 ribu halaman yang salah satu isinya tentang pembantaian terhadap anggota dan simpatisan PKI pada 28 Desember 1965.
Penyelesaian perkara HAM dalam peristiwa 1965 sudah berjalan lama, jauh sebelum dibukanya data NSA dan NDC. Namun, selama ini, upaya penyelesaian tersebut mentok di berbagai tingkatan. Misalnya, terus dikembalikannya hasil penyelidikan Komisi Nasional HAM akan peristiwa itu oleh Kejaksaan Agung selaku penyidik dan penuntut.
Baca: Dokumen Rahasia AS Ungkap Ansor di Kumparan Sejarah 1965
Penyelesaian secara non yudisial alias rekonsiliasi pun mandek. Walaupun Kejaksaan Agung sudah beberapa kali memaparkan langkah tersebut sebagai ganti langkah yuridis, tetap saja tak ada perkembangannya.
Usman mengatakan perlu kerja keras untuk menyelesaikan perkara HAM persitiwa 1965 secara tuntas. Misalnya, melengkapi dokumen-dokumen bukti yang masih kurang. Menurut dia, data yang ada sekarang belum mencukupi.
Baca: Dahnil Tak Kaget Dokumen Soal 1965 Sebut Muhammadiyah Terlibat
Salah satu data yang belum diungkap ke publik, kata Usman, adalah data dari pihak Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA). "Padahal data panasnya di pusat intelijen AS tersebut," ujarnya. Data diplomatik yang sekarang terbuka, menurut dia, baru memberikan gambaran awal peristiwa 1965.
Namun data dari pihak Indonesia atau TNI sendiri belum ada. Padahal, menurut Usman, data TNI bisa memberikan gambaran soal pengerahan pasukan dalam peristiwa 1965 mulai dari jumlah, lokasi, hingga sasaran mereka. "Saya yakin data itu ada," kata Usman. "Saya rasa perlu menyurati Pemerintah AS juga agar ada upaya bilateral untuk menyelesaikan Peristiwa 65 pasca deklasifikasi data. Jadi, ada berita acara dan dokumen yang diberikan resmi."
Baca: Dokumen AS Soal 1965, Nu dan Muhammadiyah Sepakat Rekonsiliasi
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Feri Kusuma beranggapan perlu ada political will juga dari Presiden Joko Widodo agar penyelesaian perkara HAM peristiwa 1965 bisa lebih maju. Political will itu bisa berwujud keterlibatan Presiden Joko Widodo langsung dalam mengkoordinir penyelesaian perkara.
"Komisi oleh Kepresidenan itu penting, supaya temuan cepat ditindaklanjuti. Tak bisa sepenuhnya di Kemenkopolhukam," ujar Feri yang beranggapan penyelesaian perkara 65 tak bisa ditunda lebih lama lagi.
Pihak Istana Kepresidenan, hingga berita ini ditulis, belum memberikan komentar soal dokumen yang menyinggung sejarah 1965 itu. Juru bicara Istana Kepresidenan Johan Budi Sapto Pribowo, belum merespon kontak yang dilakukan oleh Tempo.