TEMPO.CO, Jakarta - Putri sulung presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Alissa Wahid ikut angkat bicara dengan polemik raja perempuan Keraton Yogyakarta. Alissa menganggap adanya raja perempuan untuk Keraton Yogya sah-sah saja dengan catatan proses dan mekanisme suksesi dilakukan tanpa menimbulkan konflik berarti di kalangan internal Keraton Yogya.
"Bagi saya yang terpenting bagaimana memutuskan raja perempuan itu, bagaimana langkah sejarah itu diambil," ujar Alissa saat menjadi pembicara diskusi Merdeka Dalam Keberagaman di Yogyakarta di Yogya Rabu petang 18 Oktober 2017.
Wacana raja perempuan menjadi polemik di Keraton Yogya sejak Raja Keraton yang juga Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Sabda Raja atau perintah raja tahun 2015 silam.
Baca juga: Isu Raja Perempuan, Adik Sultan HB X Tetap Pimpin Grebeg Besar
Saat itu Sultan mengorbitkan putri sulungnya Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun sebagai putri mahkota dengan gelar baru GKR Mangkubumi. Polemik raja perempuan itu makin menjadi manakala tahun 2017 ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan aktivis untuk menganulir pasal 18 ayat 1 huruf m pada Undang Undang Keistimewaan DI Yogyakarta.
Sebab pasal itu memuat syarat tentang jabatan gubernur DIY haruslah seorang laki-laki. Dalam UU Keistimewaan mengatur bahwa raja bertahta keraton otomatis memiliki hak sebagai gubernur DIY.
Sedangkan raja keraton saat ini kebetulan tak memiliki anak laki laki. Polemik raja perempuan ini mengakibatkan hubungan internal dalam keraton khususnya Sultan HB X dengan saudara lainnya dari sesama keturunan Sultan HB IX pun renggang.
Alissa menilai perubahan dalam keraton sebuah keniscayaan yang tak bisa ditolak. Termasuk soal raja. Sejarah keraton Yogya juga peradaban lain di dunia pasti akan selalu melakukan penyelarasan perubahan mengikuti perkembangan zaman. "Kita ngga bisa berpikir lagi 'ini sudah jumud (baku), ngga bisa diubah lagi', jaman terus berubah," ujarnya.
Yang perlu dipastikan jika keraton Yogya akhirnya memilih raja perempuan menurut Alissa adalah proses pengambilan keputusannya. "Semua pihak yang berkepentingan di Keraton harus bisa dipastikan memutuskan raja perempuan itu dengan bijak tanpa konflik," ujar Alissa.
Baca juga: Perempuan Bisa Jadi Raja di Yogya, Adik Sultan: Akan Picu Konflik
Alissa tak rela jika hanya karena perbedaan pendapat soal raja perempuan dan laki-laki Keraton Yogya dikorbankan.
Menurutnya Keraton merupakan aset bangsa sehingga perubahan yang akan dilakukan di dalamnya perlu dipertimbangkam dengan bijaksana oleh kalangan internalnya.
Alissa khawatir jika Keraton sebagai lembaga kebudayaan runtuh legitimasinya gara gara suksesi raja. Jika legitimasi sebagai lembaga penjaga kebudayaan itu runtuh maka Keraton rentan menjadi alat politik dan akibatnya nasib rakyat Yogya terabaikan.
Dalam Undang-Undang Keistimewaan DI Yogyakarta menegaskan raja keraton Yogyakarta yang bertahta otomatis menjabat sebagai gubernur DIY. Namun dalam undang undang itu juga menegaskan bahwa raja yang juga gubernur dilarang terlibat atau terikat dalam organisasi politik.