TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Brigadir Jenderal Fadil Imran menyebutkan telah terjadi 47 kasus persekusi sepanjang 2017. Ia mengatakan persekusi dilakukan terhadap pemilik akun media sosial yang dituduh menghina agama atau ulama di media sosial.
"Ada 47 kasus persekusi dan kemudian ini berkembang, seolah-olah polisi berpihak," kata Fadil dalam Seminar Bahaya Hoax Melalui Media Sosial sebagai Ancaman Disintegrasi Bangsa di Auditorium Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Selasa, 17 Oktober 2017.
Baca juga: Tito Karnavian Copot Kapolres Solok, Terkait Penanganan Persekusi
Fadil menambahkan, kasus persekusi berkembang dengan menyudutkan dan mendiskreditkan negara. Ia pun menduga tindak pidana ini dilakukan untuk kepentingan politik. "Kejahatan hate speech sekarang tidak murni karena ideologi, tapi ada boncengan-boncengan lain," ujarnya.
Dia menambahkan, adanya persekusi ini seiring dengan praktik ujaran kebencian yang terjadi selama pemilihan kepala daerah 2015. Kepolisian, kata Fadil, kesulitan mengusut kasus-kasus ini. "Bisa merusak trust kepolisian kalau salah penanganan."
Baca juga: Koalisi Anti-Persekusi Bentuk Crisis Center Lindungi Korban Teror
Fadil menilai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah 2018 juga rentan dengan praktik persekusi yang disertai dengan konten ujaran kebencian dan berita bohong. Acuannya adalah peningkatan angka konten berisi ujaran kebencian dan hoax yang meningkat pada putaran kedua pilkada DKI Jakarta sebesar 117 kasus.
Angka ini kemudian menurun setelah kepolisian menangkap kelompok bisnis ujaran kebencian, Saracen. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara membenarkan adanya penurunan angka kasus konten negatif setelah penangkapan kelompok Saracen. "Setelah pilkada kemarin, konten negatif secara kuantitas menurun," tuturnya.
Baca juga: Joko Widodo: Polisi Tindak Tegas Pelaku Persekusi
Meski begitu, Fadil meminta berbagai pihak terkait, seperti Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, mengantisipasi praktik ujaran kebencian menjelang pilkada 2018. "Tapi lebih kepada Bawaslu untuk mengurangi," ujarnya.