TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menyepakati Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perpu Ormas) dibahas lebih lanjut. Sejumlah fraksi menyetujuinya dengan catatan.
Fraksi Partai Amanat Nasional setuju membahas perpu ini. Namun Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto menilai perpu ini telah menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat. Karena itu, ia meminta DPR mengundang pihak-pihak yang pro dan kontra untuk dimintai pendapat. “Sehingga fraksi bisa mengambil keputusan dengan bijaksana,” katanya dalam rapat bersama pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 16 Oktober 2017.
Baca: Pemerintah dan DPR Lanjutkan Pembahasan Perpu Ormas ...
Juru bicara Fraksi Demokrat, Muhammad Afzal Mahfuz, mengatakan partainya setuju perpu tersebut dibahas lebih lanjut. Namun ia meminta pemerintah memegang teguh prinsip perlindungan hak asasi manusia serta kebebasan berekspresi dan berserikat.
Selain itu, Demokrat meminta pemerintah menjelaskan secara rinci tentang ajaran yang bertentangan dengan Pancasila. Menurut Afzal, perpu ini bisa membuat Menteri Dalam Negeri serta Menteri Hukum dan HAM menjadi penafsir Pancasila. “Perpu ini memberikan kewenangan besar sehingga bisa menimbulkan masalah interpretasi Pancasila,” ujarnya.
Adapun juru bicara Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Amirul Tamim, meminta pemerintah memperdalam ihwal "kegentingan yang memaksa", yang membuat pemerintah mengeluarkan perpu ini. “Ini perlu diperjelas agar tidak multitafsir,” ucapnya.
Baca juga: Yusril Minta MK Mempercepat Putusan Soal Perpu Ormas
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan dinamika keberadaan ormas saat ini ada yang secara jelas melakukan tindakan yang sifatnya hendak mengubah Pancasila sebagai landasan konstitusi. “Telah menyusun rancangan undang-undang sendiri dan menyusun strategi serta metode pembentukan suatu negara,” tuturnya.
Tindakan ormas yang seperti itu, kata Tjahjo, tidak bisa diselesaikan menggunakan undang-undang yang lama lantaran tidak mengatur tentang perbuatan ormas tersebut. “Keadaan ini yang memaksa pemerintah harus mengatur dengan cepat agar tidak terjadi kekosongan hukum,” katanya.
Ketua Komisi Pemerintahan DPR Zainuddin Amali mengatakan, dengan kesepakatan ini, maka mulai besok komisinya mulai menggelar rapat dengar pendapat umum bersama sejumlah pihak. Komisi II akan mengundang 22 ormas, 18 pakar, dan mantan pengurus Hizbut Tahrir Indonesia.
Sedangkan dari pihak pemerintah, Komisi Hukum akan mengundang Kementerian Agama, Kepolisian RI, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. “Semuanya akan didengarkan 10 fraksi dan menjadi masukan untuk pendapat akhir dari fraksi-fraksi,” ujar politikus Partai Golkar ini.