TEMPO.CO, JAKARTA - Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) yang terdiri dari paling tidak 160 akademisi dan praktisi serta 20 organisasi masyarakat sipil peduli pada penyiaran menyayangkan perkembangan pembahasan revisi
UU Penyiaran. KNRP menyoroti dua hal yang terdiri dari penetapan tentang penerapan pola multiplekser serta iklan rokok.
"Pertama, ketentuan mengenai penerapan pola multiplekser dalam digitalisasi telah menyebabkan tertundanya kembali pengesahan
RUU UU Penyiaran versi DPR," kata aktivis KNRP Bayu Wardhana dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo, Kamis 12 Oktober 2017.
KNRP mengatakan penundaan terjadi akibat terjadi kebuntuan pada rapat gabungan antara Badan Legislatif dan pengusul (Komisi I) DPR, 3 Oktober 2017. Sejumlah fraksi mengundurkan diri dari pencapaian kesepakatan.
Padahal sebelumnya, KNRP melihat adanya voting di tahap panitia kerja. Ketidaksepakatan itu terjadi dalam penentuan penataan migrasi memasuki penyiaran digital dalam hal pemilihan penyelenggaraan multiplekser (mux).
"Dalam draf
RUU Penyiaran versi 3 Oktober 2017 sudah termuat ketentuan bahwa model migrasi dari penyiaran analog ke digital yang akan dijalankan adalah multiplekser tunggal, dengan Lembaga Penyiaran Publik bertindak sebagai penyelenggara multiplekser," ucap Bayu.
Koalisi ini mengungkapkan keputusan itu dikukuhkan melalui voting di tingkat panitia kerja dengan perbandingan suara terdiri dari 5 fraksi memilih sistem multiplekser tunggal, 4 fraksi memilih sistem multiplekser multi, dan 1 fraksi tidak hadir.
Namun ketika pengambilan keputusan hendak diambil di tingkat rapat pleno, secara mendadak salah satu fraksi dan diikuti sejumlah fraksi lainnya memilih mengundurkan diri dari rapat pengambilan keputusan. "KNRP menduga keras ini menunjukkan adanya upaya untuk membelokkan arah UU Penyiaran untuk melayani kepentingan lembaga-lembaga penyiaran raksasa di Indonesia," kata Bayu.
Dalam pandangannya, KNRP melihat pilihan multiplekser tunggal (single-mux) dalam penyiaran digital yang otoritasnya diserahkan kepada negara adalah pilihan yang terbaik untuk kepentingan publik karena beberapa alasan. "Dengan pola mux tunggal (single-mux), akan terjadi penghematan spektrum frekuensi radio untuk keperluan penyiaran komersial sehingga akan ada sisa frekuensi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penyiaran non-komersial dan kepentingan komunikasi non-penyiaran," ucapnya.
BACA JUGA :
Pelarangan Iklan Rokok Harus Diatur RUU PenyiaranIklan
Oleh karena itu migrasi ke penyiaran digital dinilai mampu memberikan peluang usaha dan penataan industri siaran yang lebih adil bagi masyarakat. Selain itu publik bisa memperoleh keuntungan dalam penyiaran digital khususnya untuk mendukung kepentingan penyiaran non-komersil seperti untuk pendidikan, kesehatan, anak-anak hingga penanganan bencana alam.
"Dengan sistem mux-tunggal pula, lembaga pemegang otoritas penyelenggara multiplekser yang ditetapkan oleh negara akan dapat memberi kesempatan yang adil terhadap setiap pelaku usaha bisnis penyiaran," kata Bayu.
KNRP menilai penguasaan frekuensi siaran sekarang ini cenderung tak efisien dan mahal. Di sisi lain, hal tersebut juga menguntungkan pemain-pemain raksasa lama yang memiliki dukungan infrastruktur dan modal yang kuat. Penguasa frekuensi siaran juga bisa memanfaatkannya untuk kepentingan politis. KNRP berharap kelima fraksi yang secara tegas mendukung pilihan mux-tunggal tidak mengubah sikap pada pengambilan keputusan tanggal 16 Oktober 2017.