INFO MPR - Musyawarah mufakat menjadi sistem dalam budaya Pancasila, yang selain diterapkan pada pengambilan keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat terkecil, yakni lingkungan keluarga.
Hal ini terungkap dalam dialog yang digelar Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yakni MPR Rumah Kebangsaan dengan tema “Budaya Pancasila”, pada Rabu, 18 Oktober 2017, di Lobi Nusantara V, Kompleks MPR, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Senayan, Jakarta. Dialog ini menghadirkan Sekretaris Jenderal MPR Ma'ruf Cahyono dan anggota Lembaga Pengkajian MPR, Muhammad Jafar Hafsah, sebagai narasumber.
Muhammad Jafar mengatakan dalam budaya Pancasila, kebersamaan antarmasyarakat untuk mewujudkan negara kesatuan Indonesia menjadi kekuatan. Pancasila yang dilahirkan para founding fathers merupakan kristalisasi, budaya, serta pandangan internasional. "Komponennya ada idealisme, kecerdasan, kejujuran, kebenaran, ketuhanan, teknologi, semua masuk tercakup semua," katanya.
Sementara Ma'ruf mengatakan dalam mengembalikan budaya Pancasila dan menjalankan nilai-nilai Pancasila, terdapat tiga dimensi yang dikenal dengan "Kita Pancasila" dan dalam dimensi lain, sangat fleksibel dalam perkembangan apa pun termasuk teknologi informasi yang dihadapi anak muda saat ini. Dalam dimensi idealisme, pandangan hidup hingga internasional semua sudah diakomodir dalam Pancasila.
Menurut dia, cara merawat agar nilai Pancasila tidak luntur maka wajib disosialisasi terus menerus agar menjadi pengetahuan, pemahaman, dan implementasi, pada pelaksanaan nilai tersebut . "Sosialisasi merupakan tanggung jawab semua komponen bangsa. MPR punya tugas khusus seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 pasal 5, yang secara eksplisit mengatakan MPR harus memasyarakatkan TAP MPR, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, " ujarnya. Ia menegaskan sosialisasi ini merupakan sebuah kerja besar dan menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa.
Jafar mengatakan dalam menyoroti tentang musyawarah mufakat dan voting, banyak yang melihat istilah voting dari sisi tataran formal. "Voting adalah sebuah jalan untuk mencapai musyawarah karena keterbatasan waktu," ucapnya.
Menurut Ma’ruf, ini dua hal yang berbeda tapi intinya sama, yakni satu proses untuk mengambil sebuah keputusan. "Sebenarnya kehidupan Pancasila dalam praktik bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tidak dilihat dalam pandangan sempit. Mengenai musyawarah mufakat mengambil keputusan dalam suara terbanyak itu, sudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang dilakukan dalam keluarga antara suami, istri, kakak, dan adik. Ini potret dalam sila keempat. Masih ada dan hidup di negara kita," tuturnya.
Kalau dalam mengambil kebijakan dalam tataran kelembagaan negara maka diambil keputusan lewat voting.
Ma'ruf mengatakan kenapa Pancasila menjadi ideologi terbuka karena pada pembentukan Pancasila, kristalisasi dari nilai-nilai tersebut dimasukkan menjadi pembentukan lima sila, yang secara terbuka untuk kepentingan golongan dan kelompok. "Ini membuka ruang untuk siapa pun berdiskusi, saling memberi dan menerima," katanya.
Bagaimana Pancasila menjadi perisai atau benteng dalam kehidupan, menurut Ma'ruf, karena Pancasila memiliki sistem nilai yang dilaksanakan semua masyarakat dan memiliki peran penting, sebagai alat pemersatu serta alat ketahanan negara. "Ini menjadi alat dalam sistem nilai pada diri kita dan penting bagi generasi muda. Dengan derasnya arus informasi maka harus memiliki alat ketahanan yang kuat dan harus menjadikan ideologi Pancasila jadi banteng," ujarnya.
Menurut Ma'ruf, dampak dari teknologi informasi bisa diterjemahkan dengan baik dan menjadi respon positif, sehingga jadi peluang dan penting melakukan internalisasi nilai ini bagi generasi muda, di tengah dampak media sosial yang luar biasa, informasi tidak beraturan dan menjadi kontra produktif bagi generasi muda. (*)