TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan ada tiga pekerjaan rumah Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam sisa dua tahun masa jabatannya. Yunarto mengatakan ketiga hal ini krusial untuk dikelola dengan baik jika Jokowi ingin kembali maju sebagai calon presiden dalam pemilihan umum 2019.
"Yang pertama tentu saja kita berbicara pencapaian di bidang ekonomi sebagai kebutuhan mendasar bagi semua pemilih," kata Yunarto kepada Tempo pada Selasa, 10 Oktober 2017.
Yunarto mengatakan ada tiga hal yang menjadi tantangan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Pertama, pelambatan ekonomi global yang belum bisa dikatakan pulih sepenuhnya. "Kondisinya memang tidak sebaik dulu ketika SBY masuk di periode kedua tahun 2008-2009. Kondisi eksternal lebih sulit," katanya.
Baca juga: Menjelang Tahun Politik, Jokowi Akan Kumpulkan Kepala Daerah
Kedua, ambisi di bidang infrastruktur membutuhkan anggaran yang sangat besar. Dalam hal ini, kata Yunarto, kebijakan publik yang menyangkut masyarakat kecil kadang kala "dikorbankan". Sebagai gantinya, pemerintah banyak memberikan subsidi yang sifatnya bantuan tunai kepada masyarakat. Yunarto menyebut kebijakan semacam ini ibarat memberikan ikan tapi tidak memberikan pancing.
"Bagaimana kemudian pemerintah dilihat tetap memiliki keberpihakan kepada masyarakat kecil," ujarnya.
Masalah ekonomi juga terjadi di level masyarakat menengah ke atas, terutama menyangkut pajak. Yunarto menyampaikan pajak progresif sering mengorbankan aktivitas di sektor swasta yang tidak terbiasa dengan tarif pajak tinggi.
Selain ekonomi, persoalan politik dan hukum masih menjadi tantangan bagi pemerintahan Jokowi hingga 2019. Di bidang politik, kata Yunarto, Jokowi memiliki pekerjaan rumah untuk meredam upaya sekelompok pihak yang memainkan politik identitas. Isu yang sudah dimainkan sejak kampanye pemilihan presiden 2014 itu harus diredam agar tidak memunculkan konflik horizontal dan masyarakat merasa politik tidak stabil. Dampaknya, kata Yunarto, pemerintah bisa saja dianggap gagal.
Di bidang hukum, Yunarto menitikberatkan tantangan ada pada pemberantasan korupsi. "Dalam konteks KPK, kita tahu masih ada stagnasi karena pertarungan politik yang membelit Jokowi, terutama di level DPR dan partai-partai pendukungnya sendiri," kata Yunarto.
Baca juga: Menjelang Pemilu 2019, Jokowi Ingatkan Polri Soal Kejahatan Siber
Menurut Yunarto, kondisi ekonomi, politik, dan hukum inilah yang akan menentukan seperti apa figur yang tepat untuk mendampingi Jokowi sebagai calon wakil presiden. Jika kondisi politik stabil dan Jokowi sebagai petahana akan berfokus pada pertumbuhan ekonomi, sosok cawapres yang tepat adalah yang menguasai ekonomi. Nama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati disebut-sebut sebagai sosok cawapres ini.
"Itu juga yang dulu dilakukan SBY tahun 2009. Untuk fokus pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, dia menarik Boediono. Tapi itu dalam kondisi politik sudah stabil," ujarnya.
Sebaliknya, jika situasi politik belum stabil, figur cawapres yang kuat untuk mendampingi Jokowi adalah yang berasal dari institusi pertahanan dan keamanan. Dalam hal ini, Yunarto mengatakan tidak aneh jika nama Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian muncul dan digadang-gadang sebagai cawapres.
"Tergantung situasi politik, ekonomi, dan internal dari apa yang terjadi. Tapi, kalau ditanya tiga nama besar, ya, itu, Gatot, Tito, dan SMI," kata Yunarto.
Baca juga: Pemilu 2019: Jokowi Bisa Kalahkan Penantang Baru, Jika…