TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi menelusuri aliran dana proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP yang diduga diputar ke luar negeri. Penyidik KPK mencatat sejumlah nama pribadi dan perusahaan yang diduga terlibat dan turut menikmati duit dari proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
KPK pun bekerja sama dengan otoritas di Amerika Serikat, yaitu Federal Bureau of Investigation (FBI), untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait dengan bukti-bukti kasus e-KTP yang ada di Amerika. "Bukti dan kerja sama dari FBI ini akan menjadi salah satu faktor yang semakin memperkuat penanganan kasus e-KTP yang tengah dilakukan," ujar juru bicara KPK, Febri Diansyah, di Jakarta, Rabu, 5 Oktober 2017.
Baca Juga:
Baca: Kumpulkan Bukti E-KTP di Amerika, KPK Kerja Sama dengan FBI
Perputaran duit e-KTP di luar negeri semakin kuat dalam upaya penelusuran aset Direktur Biomorf Lone Johannes Marliem oleh aparat hukum Minnesota, Amerika Serikat. Agen khusus FBI, Jonathan Holden, seperti dikutip Star Tribune dan Wehoville, menguraikan seluruh hasil penyelidikan dan pengusutan aset Marliem.
Menurut Holden, FBI mencatat hasil penelusuran aliran uang di rekening pribadi Marliem, yang menampung duit hingga US$ 13 juta atau setara Rp 175 miliar, berasal dari rekening pemerintah Indonesia pada Juli 2011 sampai Maret 2014. Uang tersebut kemudian ia gunakan untuk membeli sejumlah aset dan barang mewah.
Salah satu barang mewah yang dibeli Marliem adalah jam tangan seharga US$ 135 ribu atau Rp 1,8 miliar dari sebuah butik di Beverly Hills. Marliem kemudian menyerahkan jam mahal tersebut kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang saat ini tengah dibidik KPK dalam kasus korupsi e-KTP.
Namun tudingan itu dibantah. Pengacara Setya Novanto , Fredrich Yunadi, menegaskan bahwa kliennya tidak pernah bertemu dengan Marliem dan menegosiasikan apapun. “Kenal saja tidak. Itu semua bohong dan hasutan,” katanya.
FAJAR PEBRIANTO | MAYA AYU
Catatan Koreksi: Berita ini ditambah dengan satu paragraf berisi bantahan dari pengacara Setya Novanto sebagai konfirmasi atas tuduhan dalam paragraf sebelumnya, sesuai aturan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, pada Selasa 19 Desember 2017.