TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menuturkan munculnya ganjalan hubungan emosional antara suku Jawa dan Sunda selama ini, sebagian dipicu peristiwa sejarah Pasundan Bubat atau lebih dikenal Perang Bubat yang terjadi abad ke-14 silam.
“Peristiwa Perang Bubat ini masih memengaruhi alam bawah sadar sebagian masyarakat kita (Sunda),” ujar Aher, panggilan Ahmad Heryawan, di sela peresmian nama Jalan Siliwangi dan Padjajaran, di Yogyakarta, Selasa, 3 Oktober 2017.
Perang Bubat selama ini mengisahkan tentang pembantaian prajurit dari Kerajaan Sunda oleh Kerajaan Majapahit. Kekalahan Kerajaan Sunda ini seolah terus terbawa menjadi dendam dan prasangka hingga NKRI terbentuk.
Aher mengatakan, pengaruh peristiwa sejarah itu terbawa terus oleh sebagian masyarakat dan tercatat masih kerap muncul pada momen-momen tertentu. Mulai peristiwa politik, seperti pemilihan presiden yang menampilkan sejumlah tokoh hingga momen privat, seperti pernikahan di masyarakat.
Baca juga: Laporan Keuangan Jawa Barat WTP, Aher: Saya Jadi Tukang Jegal
Misalnya saja, ujar Aher, di masyarakat Sunda kerap muncul sebuah stigma yang seolah melarang laki-laki Sunda menikahi gadis Jawa, yang diperbolehkan adalah laki-laki Jawa menikahi perempuan Sunda. Bahkan sampai sekarang, di Jawa Barat tak ada nama sarana umum seperti jalan yang berhubungan dengan Majapahit, misalnya Hayam Wuruk.
Begitu pula sebaliknya, tak ada nama sarana umum berunsur Sunda, seperti Siliwangi dan Padjajaran, di wilayah Jawa khususnya Jawa Timur. “Perasaan kolektif dan prasangka akibat peristiwa sejarah yang dibawa terus seperti ini, jika diteruskan jelas merugikan perjalanan bangsa,” katanya. Dalam pandangan Aher, peristiwa Pasundan Bubar atau Perang Bubat perlu ditelaah kembali kebenarannya.
Meski bukanlah mitos, tapi sejarah terbuka untuk dikaji ulang hingga kebenarannya terkuak. “Saya pribadi curiga, peristiwa Perang Bubat ini dijadikan bagian dari politik pecah-belah Penjajah Belanda, agar etnis Sunda dan Jawa terbelah,” ucapnya.
Sebab, ujar Aher, sampai saat ini, prasasti soal Perang Bubat juga tak pernah ditemukan, baik di kawasan Sunda maupun di kawasan Jawa. Kisah itu hanya tersampaikan dalam wujud manuskrip atau tulisan tangan, yakni Serat Pararaton.
Baca juga: Aher Minta AP 2 Percepat Kerja Sama Pengelolaan Bandara Kertajati
Aher mengetahui, bukti kuat untuk menjamin otentisitas sejarah itu karena adanya prasasti, dibandingkan dengan tulisan tangan. “Serat Pararaton yang menulis peristiwa itu baru ditulis 117 tahun setelah Perang Bubat terjadi, ini jelas bisa bias,” tuturnya. Perang Bubat terjadi pada 1357 tetapi baru ditulis pada 1474.
Ahmad Heryawan menduga kuat, ketika kebenaran peristiwa Perang Bubat itu masih bias, pada 1920, Pemerintah Hindia-Belanda mewajibkan cerita Perang Bubat ini diajarkan di sekolah-sekolah Belanda di Jawa Barat. “Makanya saat Belanda masuk dan mewajibkan cerita itu diajarkan, saya curiga ini bagian devide at impera (adu domba), agar Sunda-Jawa tak akur,” katanya.