TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum Ismail Yusanto—juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Yusri Ihza Mahendra, mengaku pesimistis dengan pembahasan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perpu Ormas). Menurut Yusril, pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat kerap hanya memberi pertimbangan dari segi politis.
"Kalau saya, sih, susah mengharapkan DPR akan bersikap secara obyektif, misalnya menolak perpu ini menjadi undang-undang," katanya ketika dihubungi Tempo pada Rabu, 4 Oktober 2017.
Baca: Komisi Pemerintahan DPR Mulai Bahas Perpu Ormas
Menurut Yusril, meski sudah ada dukungan dari beberapa fraksi yang secara tegas menyatakan akan menolak Perpu Ormas, hal tersebut dinilai tetap kurang. Sebab, jika nanti pembahasan ini sampai pada pengambilan keputusan voting, Yusril merasa pesimis akan lebih banyak yang setuju daripada menolak.
"Yang menolak itu paling Gerindra, PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dan PAN (Partai Amanat Nasional). Kalau yang lain-lain, mungkin akan setuju semua, ya. Dugaan saya bahwa fraksi-fraksi di DPR akan menerima perpu ini dan mengesahkannya menjadi undang-undang," ujarnya.
Baca: Bertemu Perwakilan Aksi 299, Tiga Partai Siap Tolak Perpu Ormas
Hari ini, DPR mulai membahas Perpu Ormas bersama pemerintah, yang diwakili Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam agenda rapat hari ini, DPR akan mendengar pendapat dari pemerintah terkait dengan Perpu Ormas.
Perpu Ormas diterbitkan pemerintah pada 12 Juli lalu. Pemerintah menyatakan penerbitan perpu itu dimaksudkan untuk mencegah munculnya ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ismail Yusanto, mantan juru bicara HTI, telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan terbitnya Perpu Ormas. Ormasnya menjadi ormas pertama yang dibubarkan dengan dasar perpu tersebut. Dengan didampingi Yusril, Ismail menggugat perpu ini lantaran adanya rumusan pasal yang dianggap mengandung ketidakjelasan dan multitafsir terkait dengan pembubaran ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila.
Sebagai kuasa hukum, Yusril merasa tidak terlalu menggantungkan pada keputusan di DPR. Dia lebih berharap kepada MK supaya bisa memutus perkara tersebut lebih dulu daripada pembahasan di DPR. Jika ini terjadi, pembahasan di DPR akan dengan sendirinya berhenti lantaran Perpu Ormas tersebut sudah dibatalkan MK. "Kalau misalnya diputuskan MK bahwa perpu ini bertentangan dengan UUD 45, itu DPR harus berhenti karena obyek material perpunya sudah tidak ada," ucapnya.