TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung Abdullah mengatakan putusan gugatan praperadilan Setya Novanto tetap tidak menghilangkan perbuatan pidana yang disangkakan. Menurut dia, praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka.
“Tidak menghilangkan perbuatan pidananya itu sendiri,” katanya melalui pesan pendek, Selasa, 2 Oktober 2017.
Baca : KPK Tengah Pertimbangkan Langkah Pasca Praperadilan Setya Novanto
Hal itu disampaikan Abdullah ketika menanggapi kontroversi putusan gugatan praperadilan yang diajukan Setya Novanto atas penetapan dirinya sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Putusan tersebut telah dibacakan pada 29 September 2017.
Abdullah menjelaskan, dalam Pasal 2 Ayat 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 menegaskan putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka itu, tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi. Kalau penyidik telah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah (berbeda dengan alat bukti sebelumnya), yang berkaitan dengan materi perkara, yang bersangkutan bisa dijadikan tersangka lagi.
Baca : ICW: Ada Kejanggalan Sidang Praperadilan Setya Novanto
Berkaitan dengan putusan itu sendiri, Abdullah mengatakan Mahkamah Agung menghormati apa yang telah diputuskan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Bagaimana pun putusan hakim atau majelis hakim menjadi tanggung jawab mutlak yang bersangkutan,” ujarnya. Putusan itu tidak ada hubungan dengan ketua pengadilan yang bersangkutan, ketua pengadilan tingkat banding, maupun pimpinan Mahkamah Agung.
Hakim tunggal, Cepi Iskandar, mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto sehingga menyatakan penetapan Ketua DPR itu sebagai tersangka tidak sesuai dengan prosedur. Hakim Cepi berkesimpulan penetapan tersangka oleh KPK tidak berdasarkan prosedur dan tata cara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP, dan SOP KPK. Namun KPK mempertimbangkan untuk mengeluarkan lagi surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Setya Novanto.