TEMPO.CO, Jakarta - Meski pro dan kontra tentang putusan praperadilan Setya Novanto dianggap sudah biasa, Mahkamah Agung tidak tinggal diam. Bidang Pengawasan Mahkamah Agung sedang memeriksa tentang kemungkinan ada sesuatu di balik putusan hakim Cepi Iskandar terkait dengan praperadilan itu pada Jumat, 28 September 2017.
“Itu sudah tugas mereka (Bidang Pengawasan),”ucap juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, saat dihubungi di Jakarta, Senin, 2 Oktober 2017. Namun pemeriksaan hanya sebatas soal pelanggaran kode etik atau pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri.
Baca:
Setya Novanto Menang, Doli Kurnia Minta KY Periksa Hakim Cepi
Fadli Zon Minta Putusan Praperadilan Setya...
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat, 28 September 2017, memenangkan praperadilan yang diajukan tersangka korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP, Setya Novanto, terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Cepi mengatakan penetapan tersangka kepada Setya tidak didasari prosedur dan tata cara yang tercantum dalam standard operating procedure (SOP) KPK dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Penetapan pemohon (Setya) sebagai tersangka tidak sah," ujar Cepi dalam persidangan.
Setya menjadi tersangka korupsi e-KTP sejak 17 Juli 2017. KPK telah menetapkan lima tersangka lain dalam kasus ini, yaitu Irman, Sugiharto, Andi Agustinus Narogong, Markus Nari, dan Anang Sugiana Sudihardjo. Dari semua tersangka, baru Irman dan Sugiharto yang sudah divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Selatan.
Namun Mahkamah Agung tidak memeriksa dan ikut campur soal aspek yudisial dalam putusan itu. “Itu kewenangan hakim dan tidak bisa diintervensi,” tutur Suhadi. Dengan demikian, putusan Cepi itu tidak bisa diganggu gugat.
Menurut Suhadi, putusan Cepi sudah final. “Putusan praperadilan itu sudah final and binding (final dan mengikat).”
FAJAR PEBRIANTO
Baca juga: Inilah Resep KPK Balas Kekalahan Kasus Setya Novanto