TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Korps Brimob Kepolisian RI Inspektur Jenderal Murad Ismail menegaskan senjata jenis Arsenal Stand Alone Grenade Launcher (SAGL), yang diimpor Polri, bukanlah senjata mematikan dan berbahaya. Murad menjelaskan hal tersebut dalam jumpa pers di Mabes Polri, Sabtu malam, 30 September 2017.
"Ini senjatanya bukan untuk membunuh, tapi untuk efek kejut. Modelnya memang seram, tapi sebenarnya ini laras kecil. Kalau ditembakkan dengan kemiringan 45 derajat, paling jauh jatuhnya 100 meter," katanya.
Baca: Polri Akui Kepemilikan Ratusan Senjata Berat di Bandara Soetta
Menurut Murad, senjata SAGL bisa digunakan untuk menembakkan berbagai jenis peluru. "Pelurunya banyak, ada peluru karet, peluru hampa, peluru gas air mata, peluru asap, dan peluru tabur," ujarnya.
Murad mengatakan ini bukan pertama kali Polri mengimpor senjata sejenis, tapi sudah yang ketiga kalinya. "Ini bukan impor pertama, tapi sudah yang ketiga kali. Yang pertama pada 2015 dan kedua 2016," ucapnya.
Dia memastikan pemesanan senjata sudah sesuai dengan prosedur. "Apa yang kami impor telah sesuai dengan manifes. Saya yang tanda tangan untuk minta rekomendasi kepada Badan Intelijen Strategis TNI (Tentara Nasional Indonesia)," tuturnya.
Baca: Tersebar Rekaman Panglima TNI Soal Pembelian 5.000 Senjata
Murad merinci senjata yang diimpor tersebut terdiri atas 280 pelontar granat jenis Arsenal SAGL kaliber 40 x 46 milimeter dan 5.932 butir amunisi granat.
Senjata yang dikirim menggunakan maskapai asal Ukraina dan diimpor PT Mustika Duta Mas Senjata itu dibeli melalui mekanisme lelang sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa. Kemudian senjata itu pun sudah dikaji Inspektur Pengawasan Umum Polri dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Baca: Penjelasan Mabes Polri Soal Video Polisi Latihan Senjata RPG
"Sampai dengan pengadaan dan pembeliannya oleh pihak ketiga dan masuk ke Indonesia ke pabean Soekarno-Hatta," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto.
Senjata-senjata tersebut masuk ke Bandar Udara Soekarno-Hatta pada Jumat malam, 29 September 2017, dan kini masih disimpan di gudang kargo Bandara Soekarno-Hatta.