TEMPO.CO, Jakarta- Yanti Nurdin Nasution, putri sulung Almarhum Jenderal Abdul Haris Nasution angkat bicara soal polemik pemutaran film Penghianatan G30S PKI. Yanti tak setuju jika ada versi baru film G30S PKI. "Saya secara pribadi tidak setuju," kata dia di sela acara reuni sekolah anaknya di Museum AH Nasution, Menteng, Sabtu 30 September 2017.
Menurut Yanti, apa yang ada dalam film tersebut terutama kisah ayahnya adalah yang sebenarnya terjadi. "Yang penting kita lihat kejadian itu adalah yang sebenarnya," kata Yanti.
Jenderal Abdul Haris Nasution merupakan salah satu yang lolos dari tragedi kelam di malam 30 September 1965. Dia berhasil lolos, namun anaknya Ade Irma Suryani Nasution yang saat itu masih berusia lima tahun ditembak oleh pasukan Cakrabirawa yang hendak menjemput sang ayah. Ade Irma Suryani akhirnya meninggal setelah sempat enam hari dirawat di rumah sakit.
Baca juga: Mendikbud Larang Siswa SD-SMP Nonton Film G30S PKI
Dalam peristiwa itu, ajudan Nasution, Lettu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Ia dibawa ke Lubang Buaya oleh pasukan Cakrabirawa. Tendean tewas di sana.
Yanti bercerita saat peristiwa itu ia masih berusia 13 tahun. Dia mengatakan tak tahu apa yang sedang terjadi saat itu. Ia mengisahkan saat itu ia melompat untuk memanggil Pierre Tendean. "Saya lompat dan membangunkan pak Pierre Tendean," kata dia.
Menurut Yanti, dia tiga kali jatuh saat itu sebelum melompat. Akibatnya tulangnya patah dan kini sudah diganti besi. "Saya tiga kali jatuh sebelum lompat," ujarnya.
Yanti meminta agar pemerintah memikirkan sekali lagi jika ingin ada versi baru film G30S PKI. "Kepentingannya apa, dan bagaimana yang sebenarnya harus dilakukan," ujarnya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengusulkan agar ada versi baru film Penghianatan G30S PKI. Ia meminta agar film tersebut bisa dinikmati generasi milenial. Usul Jokowi mendapat dukungan banyak pihak.
Baca juga: Inilah Sederet Jejak Keterlibatan Amerika dalam G 30 S/1965