TEMPO.CO, Solo- Ribuan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi pasca-tragedi G30S 1965 saat ini membutuhkan fasilitas kesehatan dari pemerintah. Kebanyakan dari mereka sudah lanjut usia dan mulai sakit-sakitan.
Koordinator Sekretariat Bersama (Sekber) 65, Winarso mengatakan bahwa selama ini pihaknya melakukan pendampingan terhadap 1.500 orang bekas tahanan politik yang dihukum tanpa melalui proses pengadilan. "Belum semuanya bisa mendapat fasilitas kesehatan," katanya saat ditemui, Jum'at 29 September 2017.
Menurut Winarso, para korban 1965 itu kondisinya sudah lanjut usia. "Paling muda sekitaran usai 75 tahun," katanya. Banyak dari mereka yang kondisi kesehatannya sudah mulai menurun.
Baca juga: Berapa Sebenarnya Korban Pembantaian Pasca-G30S 1965?
Hingga saat ini baru 789 orang yang telah mendapat fasilitas kesehatan melalui Badan Perlindungan Saksi dan Korban. "Kami terus mengupayakan agar semua bisa memperolehnya," kata Winarso.
Untuk bisa memperoleh fasilitas kesehatan, para korban harus mendapat surat rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Mereka harus bisa membuktikan benar-benar merupakan korban pelanggaran HAM untuk bisa memperoleh rekomendasi itu.
Pembuktian bisa dilakukan salah satunya dengan menunjukkan surat pembebasan dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada saat itu. "Padahal suratnya sudah banyak yang hilang atau dimakan serangga," katanya.
Baca juga: G30S 1965: Atribut PKI Muncul Lagi, Cuma Gaya-gayaan?
Bagi korban pasca-tragedi G30S 1965 yang telah mendapat rekomendasi Komnas HAM, mereka lantas mendapatkan buku berobat yang bisa digunakan di rumah sakit mana pun selama enam bulan. "Semua biaya pengobatan ditanggung oleh LPSK," katanya. Jika telah habis, buku itu bisa diperpanjang lagi selama enam bulan ke depan.