TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung HM Prasetyo masih menunggu fatwa Mahkamah Agung soal pembatasan waktu pengajuan grasi terpidana mati yang diajukan Kejaksaan Agung sejak Agustus 2017. Hingga kini, fatwa tersebut belum keluar.
"Kita masih menunggu (fatwa MA). Kita harus berhati-hati kan soal keputusan mati jangan sampai ada kekeliruan. Setelah orangnya sudah ditembak mati, ternyata putusannya berbeda," kata Jaksa Agung Prasetyo di Jakarta, Jumat, 29 September 2017.
Baca juga: Eksekusi Mati Jilid IV, Kejaksaan Agung Sudah Punya Daftarnya
Prasetyo menegaskan eksekusi mati itu menyangkut nyawa seseorang sehingga dia meminta fatwa MA karena putusan MK soal grasi tidak menyebutkan jangka waktu pengajuan grasi.
MK melalui putusan Nomor 107/PUU-XIII/2015 menghapus berlakunya Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi terkait pembatasan waktu pengajuan grasi ke Presiden. Artinya, MK "membebaskan" terpidana mengajukan permohonan grasi kapan saja.
Putusan ini mengubah aturan sebelumnya yaitu pengajuan grasi dilakukan paling lambat setahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
Pemohon perkara ini adalah Su'ud Rusli, terpidana mati kasus pembunuhan Dirut PT Asaba Budyharto Angsono. Su'ud menganggap Pasal 7 ayat (2) UU Grasi mencederai rasa keadilan karena pengajuan grasi lebih dari setahun sejak putusan inkracht dianggap kedaluwarsa.
Pasalnya, pengajuan grasi Su'ud pada 2014 pernah ditolak Presiden Joko Widodo pada 31 Agustus 2015 yang baru diterima pada 8 Oktober 2015.
Terakhir, pada Juli 2016, Jaksa Agung melakukan eksekusi terhadap empat terpidana mati di Nusakambangan. Mereka adalah Freddy Budiman asal Indonesia, Seck Osmane (Senegal), Michael Titus (Nigeria), dan Humprey Ejike (Nigeria).
ANTARA